Tuesday, January 7, 2014

Environmental Security: Menelisik Ancaman MNC di Nusantara


Environmental Security: Menelisik Ancaman MNC di Nusantara

By: Anna C. Suwardi
Jogja: 6 Januari 2014




KEY WORD
Environmental Security (ES), Multi-National Corporation (MNC)


Pendahuluan

Persebaran kapitalisme yang bersamaan dengan derasnya arus era globalisasi menjadi duet dahsyat dalam mencengkeram dunia terutama negara-negara pinggiran (phery-phery state). Tak terkecuali bagi Indonesia, cengkraman kapitalisme semakin menguat yang berwujud ekspansi berbagai perusahaan multinasional/Multi-National Corporation (MNC), yang bermunculan di bumi katulistiwa ini. Maka benar apa yang Frank katakan, “Saya percaya, bersama Paul Baran, bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan dimasa lalu dan yang terus mengembangkan keterbelakngan di masa sekarang”.[i]
Label Indonesia sebagai negara nan “gemah ripah loh jinawi”[ii] dengan kekayaan dan keasrian alam berlimpahan, agaknya kini telah tercoreng dari stigma membanggakan itu. Ironisnya yang menjadi salah satu corengan itu diakibatkan dari aktor asing yang berkolaborasi dengan kegegabahan keputusan anak bangsa yang memangku tampuk kekuasaan negeri ini. Dengan berbagai dampak buruk MNC, semakin menguatkan asumsi bahwa intervensi kapitalismelah yang mengawali merebaknya berbagai permasalahan kompleks dalam tatanan global, terutama bagi lingkungan hidup.
MNC yang salah satu pengertiannya didefinisikan oleh United Nations on Economic and Social Council (UNESC) yakni, “semua perusahaan yang mengendalikan aset-aset-pabrik-pabrik, tambang-tambang, alat kantor dan sejenisnya di dua negara atau lebih”.[iii] MNC memang telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sektor-sektor yang digarapnya pun beragam, meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia.
Perdebatan seputar kapitalisme dan berbagai problema yang ditimbulkannya, tak hanya digagas oleh para pemikir dalam ranah ekonomi politik saja. Pada perkembangannya, para pemerhati lingkungan dan penstudi keamanan lingkungan terjun merespon paradigma ini. Kerusakan lingkungan yang dialamatkan pada agen kapitalisme berangkat dari karakternya yang selalu berorientasi pada penguasaan akumulasi modal, industry, dan produksi massal. Hal inilah yang kemudian berkembang secara relasional karena semua unsur-unsur kapitalis berkembang tanpa memandang pentingnya menjaga keseimbangan alam.
 Sebagai agen kapitalisme, keberadaan MNC yang menduduki berbagai wilayah Indonesia dan mengekplorasi sumber daya alamnya telah membawa dampak buruk terhadap keamanan lingkungan. Cengkraman MNC di Indonesia yang bersifat ekspansi eksploratif memang menjadi sebuah panorama yang membuat ibu pertiwi menangis. Eksplorasi sumber daya alam yang mereka lakukan tanpa diimbangi tanggunjawab menjaga kestabilan lingkungan, telah membawa berbagai dampak penyakit lingkungan hidup yang sedemikian akutnya. Fenomena inilah yang akan digali lebih lanjut mengenai ancaman Environmental Security yang dialami Indonesia terhadap keberadaan berbagai MNC.

Berangkat dari cara pandang Environmental Security (ES)
Memahami fenomena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh dampak MNC di Indonesia akan lebih komprehensif dengan memahami terlebih dahulu cakupan dasar pendekatan keamanan lingkungan hidup/Environmental Security (ES). Banyak definisi yang digagas para Scholars yang terjun dalam kajian ES ini. Mengingat tema-tema ES baru bermunculan pasca Perang Dingin, pada era inilah lanskap perhatian masyarakat global, baru tertuju pada isu-isu yang terkait lingkungan hidup.
Pada tahun 1972 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), telah menggagas Konferensi Stockholm dengan tema Conference on the Human Environment dengan salah satu isi deklarasinya. “Manusia adalah ciptaan sekaligus pencipta lingkungannya, yang memberinya kelebihan fisik dan kemampuan-kemampuan dalam hal kecerdasan berpikir, moral, sosial dan pertumbuhan rohani”.[iv] Meskipun demikian, sepertinya masyarakat internasional belum mengalihkan perhatianya pada isu lingkungan hidup. Perang, konflik perbatasan, dan isu seputar ideologi masih mendominasi isu dan percaturan global. Istilah ES kemudian mulai dipakai oleh para Scholars semenjak pertama kali dipidatokan oleh Svensson, baru setelah enam belas tahun kemudian di kota yang sama tepatnya dalam presentasinya yang bertajuk “Environmental Security: A Concept International Conference on Environmental Stress and Security”, istilah ES semakin ramai digunakan.
Menurut Agus Purnomo yang pada periode 2005 menjabat sebagai Staf Khusus Kementrian Bidang Kerjasama Internasional Kementrian Lingkungan Hidup mengatakan "Environmental Security adalah konsep keamanan negara yang dicapai dengan memerangi kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan kurangnya akses terhadap pengetahuan”[v] dari sudut pandang ini, tampak terlihat bahwasanya kajian ES lebih condong pada aspek-aspek kemanusiaan. Berbagai elemen dasar terpenuhinya kebutuhan manusia secara layak akan terus mengalami perkembangan menjadi suatu kepentingan tercapainya keamanan nasional. Karena dengan kelayakan pola hidup manusia, maka dapat mengeliminir kemunculan konflik yang rentan terhadap perusakan kestabilan lingkungan. 
Dalam situsnya Institute for Environmental Security menyebutkan setidaknya ada empat cakupan kajian dasar yang disoroti ES, yakni sebagai berikut;
Pertama, “The environment is the most transnational of transnational issues, and its security is an important dimension of peace, national security, and human rights that is just now being understood”
Kedua, “Over the next 100 years, one third of current global land cover will be transformed, with the world facing increasingly hard choices among consumption, ecosystem services, restoration, and conservation and management”
Ketiga, “Environmental security is central to national security, comprising the dynamics and interconnections among the natural resource base, the social fabric of the state, and the economic engine for local and regional stability”
Keempat, “While the precise roles of the environment in peace, conflict, destabilization and human insecurity may differ from situation to situation and as such are still being debated in relation to other security and conflict variables, there are growing indications that it is increasingly an underlying cause of instability, conflict and unrest”.[vi]
            Keempat poin di atas, menunjukkan sedemikian pentingnya keberadaan lingkungan dalam kehidupan manusia, isu-isu lingkungan terus berkembang menjadi kajian yang krusial bagi keberlangsungan masa depan peradaban di bumi. Oleh karenanya, menjaga aspek keamanan lingkungan, akan selalu terkorelasi dengan hak dasar manusia. Isu keamanan lingkungan menjadi sangat sensitif karena rentan terhadap konflik.
            Senada dengan yang dipandang oleh M. Shamsul Haque, terkait definisi ES seperti halnya yang diungkapkan Lester Brown dalam Redefining Security bahwasanya,  “kajian ini mencakup isu perubahan iklim, ancaman sistem biologi, kelangkaan energi, ketidakamanan pangan, dst”.[vii] Dari pengertian ini, maka kerusakan lingkungan yang ditimbulkan MNC termasuk kedalam isu ancaman sistem biologi/biota alam di sekitar daerah eksplorasi MNC.    
            Dalam menghadapi problematika lingkungungan, ES memandang perlunya membangun sebuah institusi inovatif global yang mampu mengatur mekanisme tatanan lingkungan. Berangkat dari asumsi dasar, bahwa lingkungan akan selalu menjadi urusan bersama, maka dibutuhkan guide line dan program yang komprehensif serta menyentuh akar permasalahan secara global. Berbagai misi dan program penyelematan, pelestarian, dan penyelesain masalah lingkungan akan melibatkan banyak elemen masyarakat. Oleh karenanya ES pada tatanan domestik diperlukan, untuk dapat menjadi komposisi terciptanya keamanan internasional. Maka penulis menawarkan pemikiran tentang hubungan kolaboratif ini, yang diharapkan mampu menghasilkan aksi kolektif yang berorientasi kepada problem solving dan preventive actions dalam kemasan perdamaian.
            ES semakin penting ketika dunia telah tiba pada fase kelangkaan sumber daya alam. Karena secara karakteristik, sumber daya alam yang tidak bisa terbarukan (bisa habis) diperankan menjadi objek yang diperebutkan berbagai negara. Minyak bumi, gas alam, batu bara atau hasil tambang lainnya diburu terus menerus. Konflik yang muncul kemudian, karena tidak semua negara memiliki kandungan sumber daya alam yang sama.
            Pada tahap inilah pertarungan dimulai, di mana negara-negara kuat berekspansi ke berbagai negara lemah yang memiliki sumber daya alam lebih banyak. Agen-agen kapitalisme menyebar merajalela ke setiap penjuru dunia.   

MNC dan dampak kerusakan alam Indonesia
            MNC sebagai aktor asing telah terbukti banyak menimbulkan berbagai dampak kerusakan lingkungan di Indonesia. Dari ujung timur hingga ujung barat wilayah Indonesia lengkap berdiri berbagai MNC yang mengeksplorasi hasil alam. Paparan berikut akan lebih menyoroti berbagai realita dan kasus pelanggaran etika alam yang terbukti telah menjadi kelalaian MNC yang berada di Indonesia.
Celakanya, mayoritas MNC yang menimbulkan dampak langsung terhadap kerusakan lingkungan adalah raksasa-raksasa yang bergerak di bidang eksplorasi hasil alam, yang hasilnya di ekspor ke negara induk mereka (ekspansi vertikal). Sudah pasti, hal ini membawa dampak kepada semakin menipisnya cadangan sumber alam Indonesia. Lihat saja Cevron, Freeport, dan Exxon Mobile. Dalam sektor migas misalnya, para pelaku sektor migas nasional menilai cadangan minyak di bumi pertiwi kian menipis, bahkan disinyalir hanya mampu bertahan dalam kurun waktu 10 sampai 12 tahun mendatang. Ini bukti riil sebagai dampak jangka panjang (long term impact) yang ditimbulkan dari proses eksplorasi korporasi-korporasi terhadap sumber daya alam, sumber-sumber yang tidak bisa dilakukan peremajaan serta sustainability process di dalamnya.
Data dari Ditjen Migas pada pertengahan tahun lalu terbaca sangat menyedihkan ketika hampir 74% sumur-sumur minyak dan gas di Indonesia dikuasai oleh perusahan-perusahaan asing- misalnya Cevron, Exon Mobil, dll-, jadi hanya sisanya saja yang dieksplorasi oleh Pertamina. Komplotan MNC yang mengeksplorasi kekayaan migas, mayoritas memiliki kontrak jangka panjang yang mereka sesuaikan dengan perhitungan persediaan sumber yang akan mereka eksplorasi. Kontrak mereka pasinya telah berdasarkan pada akurasi penelitian mereka terhadap jumlah ketersediaan sumber alam. Sehingga sederhananya saja, mereka akan mengahiri kontraknya pada saat sumber alam sudah habis. Habisnya sumber alam (natural resources) tentu saja merupakan wujud kerusakan alam krusial bagi Indonesia. [viii]
Di Aceh misalnya, kegiatan eksplorasi gas alam cair oleh Exxon Mobil berakibat pada terjadinya tanah amblas seluas 33 hektar. Lahan di Lubuk Pusaka ini milik warga di empat dusun Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, di sekitar Cluster D1 SLS Pase Dusun Bidari. Inilah bukti konkrit kerusakan alam yang ditimbulkan dari proses eksplorasi MNC. Parahnya, dari pihak Exxon Mobil tak memberikan tindakan penanganan langsung, maupun yang bersifat pencegahan di masa yang akan datang. Masyarakat lokal hanya ditelantarkan dengan derita kerugian dan kerusakan alamnya.
Kejadian yang tak kalah mengerikan terjadi di bumi Cinderawasih, Papua. Di sana berdiri PT. Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang yang bermarkas di Amerika Serikat ini seolah telah “merampok” hasil alam Papua dengan sedemikian hebatnya. Tambang Grasberg dan Ertsberg dijadikan mega proyek dengan mengeruk limpahan timah, tembaga, nikel, bahkan emas. Lihatlah gambar berikut, ini adalah tambang PTFI, yang tadinya merupakan pegunungan asri, dengan manfaat hutan tropis yang bersih. Kini menjadi kubangan raksasa yang tak akan pernah dapat terpulihkan lagi.
 

 Penistaan terhadap kebaikan alam berlangsung terus menerus disetiap kegiatan MNC, kerusakan habitat tidak dapat terhindarkan. Merujuk pada artikel hasil laporan ekslusif Jane Prleze dan Raymond Bonner terhadap dampak pencemaran dari eksplorasi tambang Freeport di Papua “Down below, nearly 90 square miles of wetlands, once one of the richest freshwater habitats in the world, are virtually buried in mine waste, called tailings, with levels of copper and sediment so high that almost all fish have disappeared, according to environment ministry documents”[ix]. Mereka menambahkan limbah tailing Freeport juga telah mencemari taman nasional Lorentz, yang notabene telah mendapatkan pengakuan status spesial dari PBB. Sudah pasti ini merupakan kerugian fatal bagi lingkungan hidup di Papua, sehingga membutuhkan waktu panjang dan biaya besar pula untuk recovery-nya.
Pencemaran lingkungan melalui pembuangan limbah tailing semakin parah, karena PTFI membuangnya melalui aliran sungai di sekitar lokasi tambangnya. Secara otomatis sungai-sungai yang dialiri limbah akan beralih fungsi, dan ekosistem yang ada di dalamnya menjadi punah tertutup banyaknya limbah tailing dari PTFI. Pengendapan tailing membekap kelompok tanaman subur dengan menyumbat difusi oksigen ke zona akar tanaman, sehingga tanaman yang ada pun menjadi mati. PTFI juga telah menghasilkan milyaran ton timbunan batuan limbah. Timbunan ini sangat rawan terhadap erosi dengan curah hujan sekitar 4.000-5.000 mm yang turun setiap tahun di lokasi tambang. Erosi dari timbunan limbah batuan ini memperparah muatan tailing yang sudah bersedimen tinggi masuk ke dalam aliran sungai. Berikut gambaran betapa tumpukan batuan limbah tailing telah mempunahkan fungsi aliran sungai di Papua.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam laporan resminya yang berjudul Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua (2006) menuliskan poin-poin pelanggaran Freeport terhadap lingkungan dan alam di Papua sebagai berikut:
-          Telah lalai dalam pengelolaan limbah batuan, bertanggung jawab atas longsor berulang pada limbah batuan Danau Wanagon yang berujung pada kecelakaan fatal dan keluarnya limbah beracun yang tak terkendali (2000).
-          Hendaknya membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai standar teknis legal untuk bendungan, bukan yang sesuai dengan sistem sekarang yang menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat (2001).
-          Mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing. Perusahaan diminta untuk membangun pipa tailing ke dataran rendah (2001, 2006).
-          Mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, dengan demikian melanggar standar baku mutu air (2004, 2006).
-          Membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah berbahaya, sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, dan gagal bmembangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan (2006).[x]
Di belahan bumi Indonesia bagian tengah juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tanah Papua. Adalah PT. Newmont Minahasa Raya (PTNMR) salah satu MNC yang menancapkan cakarnya di Indonesia dengan bergerak di bidang pertambangan di Provinsi Sulawesi Utara. PTNMR dalam kegiatan eksplorasinya berujung pada menyeruaknya permasalahan pencemaran terhadap teluk Buyat.
Di sekitar teluk Buyat, berbagai penyakit diderita masyarakat sekitar area pertambangan, rusaknya ekosistem dan ekologi teluk Buyat menuai protes dari berbagai pihak. Puncaknya adalah gugatan WALHI terhadap PTNMR atas pencemaran lingkungan tersebut. Artikel WALHI yang berjudul, “Mendulang Akibat, Menyamarkan Sebab” (2010) menuliskan, pengamatan WALHI Sulawesi Utara juga menemukan temuan serupa. Harmin Modeong, mantan karyawan PTNMR, sejak tahun 2000 menderita sakit di jantungnya, sampai saat ini, kakinya sudah membengkak dan tak bisa digerakkan maksimal. Tubuhnya kini mengalami tremor, kaki dan tangan kanan gemetar. Istrinya, Yatin Gonibala, juga mengalami benjolan di bagian leher yang dikatakan dokter sebagai gondok dan lipoma.[xi]
            Memang kini PTNMR telah ditutup, namun gugatan hukum terhadap Richard M Ness dan PTNMR ternyata kandas di meja hukum. Gugatan yang berakhir pada tanggal 16 Februari 2006 dengan diselimuti oleh dirilisnya “goodwill agreement” yang ditandatangani oleh pemerintah dan PTNMR. Goodwill agreement berisi kesepakatan niat baik PTNMR dan menyepakati dana perbaikan lingkungan, pemantauan lingkungan, serta kesehatan masyarakat setempat hingga 2016.[xii] Namun ternyata realita yang terjadi di Buyat tidak seperti apa yang PTNMR goreskan dalam bualan goodwill agreement-nya. Ekosistim Buyat hingga kini tetap rapuh, berbagai habitat air punah, dan masih banyak masyarakat Minahasa Utara yang menderita penyakit akibat tercemarnya teluk Buyat oleh limbah tailing PTNMR itu.
            Begitulah beberapa gambaran sedemikian mengerikannya penderitaan alam pertiwi akibat dari berbagai eksplorasi yang dilakukan oleh korporasi asing/ MNC. Masih banyak lagi realita lainnya di berbagai daerah yang bernasib kurang lebih sama, hanya saja dengan kasus-kasus yang berbeda. Dari ironi ini kita dapat belajar, bagaimana MNC dengan angkuhnya memperlakuakn alam sebagai suatu objek pemberian yang sedemikian rupa dapat mereka eksplor demi keuntungan sebesar-besarnya. Tapi mereka lalai terhadap kearifan alam, yang pada hakikatnya bukan pemberian melainkan pinjaman dari generasi berikutnya.

Di manakah payung Negara?
Menyikapi persoalan kerusakan lingkungan sebagai wujud dampak buruk MNC di Indonesia, pada hakekatnya perlu melihat aspek peranan negara dalam memproteksi alamnya. Negara hendaknya mampu menjadi entitas terkuat dalam melakukan proteksi sekaligus kontroling terhadap sepak terjang korporasi asing di negeri ini. Seperti halnya yang telah disinggung di awal, bahwa keamanan lingkungan adalah komponen dari kemanan nasional suatu negara. Hal ini dilandasi esensi dasar lingkungan hidup sebagai tempat berlangsungnya semua kegiatan peradaban manusia.
Dilihat dari aspek proses prosedural kedatangan sebuah MNC ke suatu negara, seyogyanya melalui suatu rangkaian perundingan sehingga sampai pada pembuatan kontrak kesepakatan antara kedua belah pihak (dalam hal ini MNC dan pemerintah setempat). Mekanisme inilah yang seharusnya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pemerintah, untuk memasukkan poin-poin penting terkait aspek penjagaan kelestarian alam dan penjagaan terhadap kearifan lokal terhadap suatu MNC yang akan berinvestasi langsung di Indonesia.
 Melihat realita dampak buruk MNC terhadap ES, sebenarnya masih ada peluang bagi pihak pemerintah untuk menjaga ES selalu dalam kondisi yang kondusif seiring dengan keberadaan MNC di wilayahnya. Adalah aspek Corporate Social Responsibility (CSR) yang telah menjadi syarat standar baku bagi MNC ketika berdiri di suatu negara. Inilah yang selayaknya dapat dijadikan peluang bagi pemerintah untuk tetap memberikan payung perlindungan terhadap lingkungan dan alamnya. Seperti halnya yang digagas oleh Sergio Cobo bahwa pada dasarnya sebuah korporasi tak bisa abai dengan aspek-aspek dasar sosial dan keamanan di manapun mereka berdiri, Cobo menyebutnya “….That means, at the very least, dignified treatment, safe conditions, social security coverage and some contractual stability.” [xiii]
  Fort dan Schipani dalam tulisannya “The Role of Business in Fostering Peaceful Societies” juga optimis terhadap peluang optimalisasi peranan CSR dalam kegiatan bisnis korporasi mampu menghasilkan harmoni terhadap aspek keamanan bahkan sampai ke ranah perdamaian. Tentunya hal ini dapat tercapai jika MNC mampu dengan konsisten menjalankan aspek-aspek yang ada dalam CSR-nya, dan kemudian dipadukan dengan keaktifan pemerintah yang peduli serta tegas memantau penjagaan keaman lingkungan hidup, maka berbagai dampak buruk terhadap alam dan manusia dapat diminimalisir semaksimal mungkin.
Sejak zaman Orde Baru (Orba), sepertinya Indonesia memang telah mencerminkan image yang cenderung pro terhadap berbagai titah rezim kapitalis. Bagaimana tidak, tampuk kekuasaan Soeharto digenggam dengan bantuan antek-antek Central Intelligence Agency (CIA). Semua itu tentu bukan gratisan, melainkan ada imbalannya. Tanah Papua dijadikan tumbalnya. Melalui Freeport-lah Amerika meraup kekayaan alam cinderawasih itu. Ini hanya satu dari sekian banyak kedatangan MNC ke dalam negeri, yang dibuka selebar-lebarnya pada masa Orba.
Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi titik awal gaung pemerintah dalam membuka seluas-luasnya pintu gerbang Indonesia terhadap berbagai MNC. Soeharto memegang kendali utama berbagai recruitment kedatangan MNC yang akan berinvestasi baik langsung maupun tidak langsung di Indonesia. Hal ini menyebabkan kecenderungan kontrol yang lemah dan minimnya perlindungan terhadap berbagai dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh MNC, seperti halnya perihal kerusakan alam.   
Jane Prleze dan Raymond Bonner, mengungkapkan kelemahan pemerintah dalam menjaga alamnya dari keserakahan MNC. Hingga alam mengalami kerusakan akut, yang tampak kebijakan-kebijakanya justru hanya sebuah kefrustasian semata. Mereka menuliskan, “At one point last year, a ministry scientist wrote that the mine's production was so huge, and regulatory tools so weak, that it was like "painting on clouds" to persuade Freeport to comply with the ministry's requests to reduce environmental damage”.[xiv] Ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan efek kontrol terhadap kegiatan sebuah MNC seperti inilah yang menampakkan paradigma ironi di Indonesia.
Karakter pemimpin negara juga menjadi faktor yang cukup penting. Lihat saja pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, alam pertiwi masih asri, eksploitasi tak berlangsung berlebihan. Sedangkan mulai Orba watak pemimpin negara yang masih grogi dalam menentukan kebijakan prorakyat-nya, mengakibatkan arus MNC berdatangan tanpa saringan yang rapat. Seperti halnya yang disebut oleh Adde M Wirasenjaya bahwa, “negara akan sibuk menjadi mitra kekuatan modal eksternal dan melayani segala tuntutan mereka untuk hadir berinvestasi”.[xv]
Senada dengan yang dikatakan Mohtar Mas’oed, ”ketika pemerintah Indonesia sudah sampai kepada fase penindasan terhadap masyarakatnya sendiri, pada saat itulah sebuah distorsi yang kronis atas sebuah hubungan perlindungan negara terhadap rakyatnya”. Penetrasi-penetrasi asing lebih memiliki kekuatan dalam mengendalikan kebijakan-kebijakan dalam negeri. Tahap inilah yang menunjukkan sisi kelemahan perlindungan negara terhadap lingkungan yang menerima dampak dari keberadaan MNC.
Hal serupa juga telah disadari oleh David Kinley dan Sarah Joseph, mereka mengatakan, “Yet corporations, especially multinational corporations (MNCs), are very powerful entities in the current world order. Their impact on the wellbeing of communities and individuals, including in terms of human rights, is evident wherever they operate. While there is considerable scope for that impact to be positive, corporate activity is often perceived to have had, and has had, a detrimental impact on human rights”.[xvi] Power yang memang kental dimiliki korporasi asing, cenderung dapat menjadi alat kontrol baginya terhadap pemerintah untuk melindungi berjalannya kegiatan perusahaanya. Sehingga hal ini menekan posisi bargaining pemerintah terhadap MNC, ketimpangan nyata terlihat dan kebijakan elit yang berkuasa (yang proasing) menambah ironi yang semakin memprihatinkan.

Keterkaitan ES Indonesia terhadap International Security (IS)
          Berangkat dari asumsi yang ditekankan oleh Jakson dan Sorensen bahwa, “permasalahan lingkungan secara secara serius mengancam eksistensi alam di dunia, sehingga isu lingkungan mulai disandarkan berdama isu-isu tradisi politik dalam hubungan internasional, yakni ekonomi dan keamanan internasional” (1999: hal-324).[xvii] Pandangan inilah yang mempertegas keterkaitan aspek ES terhadap tatanan keamanan internasional/IS. Konsistensi pemeliharaan dan penjagaan kelestarian alam penting dilakukan, karena setiap kerusakan yang terjadi pada lingkungan akan berimplikasi kepada aspek keamanan, baik ES maupun IS.
            Ketidakseimbangan ES pada suatu negara akan memberikan dampak pada negara lainnya, inilah yang dimaksud sebagai bentuk pengaruh ES suatu negara terhadap IS. Sebagai contohnya, peristiwa kabut asap yang berasal dari kejadian kebakaran hutan, di Riau tahun lalu, telah mencemari lingkungan udara sampai ke negara-negara tetangga. Asap yang ditimbulkan dari pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan asal Malaysia ini, telah merugikan banyak pihak. Terganggunya ES di Indonesia terbukti telah memberikan dampak negatif kepada IS di sekitar kawasan Asia Tenggara.
            Di lain kasus, seperti tercemarnya hutan lindung di Papua, sebagai akibat dari limbah tambang Freeport telah mengakibatkan terganggunya ES. Peranan hutan sebagai hujan hutan tropis yang mampu menyediakan oksigen dan paru-paru bumi telah tereduksi oleh kerusakan yang terjadi di dalamnya. Hal ini bersumbangsih kepada semakin menipisnya lapisan ozon dan perubahan iklim (climate change), isu ini telah menjadi sorotan utama sepanjang satu dekade ini. Ketika hal ini telah terjadi, maka pasti member dampak pada terganggunya IS.
            Fakta di atas selaras dengan pemikiran green theory dalam kajian hubungan internasional. Perspektif ini menekankan agenda untuk memberikan penjelasan tentang krisis ekologis yang dihadapi manusia dan memberi dasar normatif dalam menghadapi krisis tersebut (Burchill & Linklater: 1997- hal 361). Berbagai aspek, baik politik maupun ekonomi, dituntut untuk memperhatikan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan. Gagasan ini tepat dialamatkan kepada MNC dan negara dalam setiap kegiatannya, supaya selalu beranggapan penting menjaga keamanan lingkungan hidup suatu wilayah.
              Green theory juga menawarkan porsi lebih kepada Non Governmental Organization (NGO) yang concern terhadap aksi penyelamatan lingkungan. NGO lingkungan seperti Green Peace didukung dan diperankan sebagai aktor non profit oriented, sehingga dinilai mampu menjadi aktor netral dalam mekanisme perhatiannya terhadap lingkungan hidup. Dalam kiprahnya, Green Peace mampu berkontribusi terhadap penyelamatan lingkungan hidup. Aksi tuntutan dan pembelaannya terhadap lingkungan yang telah dicemari oleh MNC, selalu vokal dan memberikan hasil yang cukup signifikan.
            Begitulah sekiranya, beberapa gambaran seputar keterkaitan hubungan ES dan IS pada tatanan domestik maupun lintas negara. Faktor lingkungan memperjelas posisi pentingnya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Lingkungan layak perhatian, penjagaan, dan penghargaan, mengingat lingkunganlah sebagai tempat berlangsungnya peradaban manusia.

Kesimpulan
ES telah menjadi wacana penting dalam kajian keamanan internasional. Berbagai aspek kehidupan manusia, baik dari segi keamanan maupun tatanan kebutuhan standar hidup saling terkait dengan terjaminnya ES.  Terjanganya faktor-faktor pendukung ES perlu senantiasa dipertahankan oleh semua elemen, baik negara, rakyat, maupun perusahaan. Mengingat tatanan internasional terdiri dari bagian negara-negara, maka unsur ES dalam suatu negara akan memberikan pengaruh kepada ranah keamanan dalam taraf internasional.
Kasus keberadaan MNC di Indonesia yang telah membawa dampak buruk terhadap ES, menjadi satu gambaran nyata bahwa sebuah rejim transnasional menjadi ancaman bagi keharmonian alam. Ketika alam Indonesia banyak yang telah tercemar oleh berbagai kegiatan MNC, hal ini akan berimplikasi kepada menurunnya kualitas lingkungan, kususnya pada masyarakat lokal, kepada negara tetangga, dan keamanan internasional pada level yang lebih luas.
Kerusakan lingkungan, kepunahan biota alam, dan berbagai penyakit yang telah digambarkan di atas, menjadi dampak buruk paling nyata terhadap ES. Sebagai akibat yang ditimbulkan MNC di sekitar wilayah operasionalnya. Kasus pencemaran lingkungan oleh MNC yang sampai menjalar ke area negara lain, dapat menjadi contoh bahwa, permasalahan ES suatu negara dapat berpengaruh pada keamanan internasional.
Melihat wacana ini, maka penulis menawarkan sulusi problem solving dan preventive actions untuk menjaga ES di Indonesia, agar tetap selalu dalam keadaan yang baik dan stabil. Problem solving yang ditawarkan adalah, pemerintah mengadakan negosiasi ulang kepada semua MNC (yang memiliki dampak buruk lingkungan) terkait kontrak karya yang telah mereka kantongi selama beroperasi di Indonesia, bagaimanapun juga, negara memiliki dua faktor yang tak dimiliki MNC, yaitu kedaulatan dan sumber daya alam. Dua komponen inilah, yang dijadikan peluru utama bagi pemerintah untuk menyelamatkan ESnya. Pada tahapan yang lebik ekstrim, pemerintah dimungkinkan melakukan nasionalisasi[xviii], walaupun masih perlu dikaji lebih lanjut tentang hal ini, mengingat perlunya melihat aspek kemampuan dan kekuatan negara.
Perihal solusi preventive actions, penulis menawarkan gagasan bahwa, pemerintah harus terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini akan berdampak pada kemampuan negosiasi perwakilan pemerintah kepada pihak investor asing pada saat pembuatan kesepakatan kontrak karya, sebelum suatu MNC beroperasi di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah harus memanfaatkan aspek CSR kepada setiap MNC yang berada di Indonesia, karena CSR merupakan kewajiban yang harus ditunaikan suatu perusahaan. Melalui CSR inilah, pemerintah memiliki peluang memasukkan berbagai prasyarat agar MNC yang beroperasi di Indonesia selalu menjaga dan mengutamakan faktor-faktor ES.
Pada akhirnya, tulisan ini menegaskan bukti faktual bahwa, MNC telah menjadi ancaman terhadap ES di Indonesia. Faktor keserakahan, kelalaian, dan minimnya kontrol, menambah terbukanya peluang bagi MNC yang abai kepada aspek lingkungan. Maka benarlah yang dikatakan Gandhi bahwa, “bumi ini cukup untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tetapi tak cukup untuk memenuhi satu keserakahan manusia”.[xix]    


END NOTES     


[i] Lihat Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, 1995, hal. 65
[ii] Gemah Ripah Loh Jinawi artinya tenteram dan makmur serta sangat subur tanah (alam)nya.
[iii] Lihat Lincolin Arsyad. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat. Hal,190
[iv] Lihat isi Konferensi Stockholm 1972
[v] Octamandjaya Wiguna, Keamanan Lingkungan Hidup dengan Memerangi Akarnya, 2005 dalam http://www.tempo.co/read/news/2005/08/12/05565201/Keamanan-Lingkungan-Hidup-dengan-Memerangi-Akarnya . diakses tanggal 23 November 2013.
[vi] What is Environmental Security? Dalam www.envirosecurity.org diakses tanggal 12 November 2013
[vii] Shamsul M, Haque. How critical is “Environmental Security” as a non-Traditional Security Issue in Norteast Asia? dalam tulisan karya Thakur Ramesh dan Newman Edward, Broadening Asias Security Discourse and Agenda Political, Social, and Environmental Perspectives. 2004 
[ix] Jane Prleze dan Raymond Bonner , Below Mountain of Wealth, a River of Waste. dalam www.nytimes.com diakses 23 Mei 2013
[x] WALHI . Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua. 2006 dalam www.walhi.or.id diakses 22 Mei 2013
[xi] WALHI, Mendulang sebab, menyamarkan akibat. 2010 dalam www.walhi.or.id diakses 22 Mei 2013
[xii] Ibid
[xiii] CAFOD partner, Father Sergio Cobo, Mexico, CAFOD, The Rough Guide to Multinational Corporations
[xiv] ibid
[xv] Adde M Wirasenjaya, Negara, pasar dan Labirin Demokrasi, hal. 49 The Phinisi pers 2013

[xvii] Lihat R. Jackson dan G. Sorensen dalam Introduction to International Relations (1999)
[xviii] Nasionalisasi adalah proses di mana negara mengambil alih hak kepemilikan suatu perusahaan swasta atau asing.
[xix] Lihat quote Mohandas Gandhi, dalam buku “Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi” oleh Ved Mehta. 2002


REFERENSI
Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Budiman, Arief, 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. Theories of International Relations. New York: St Martin Press
Cobo, Sergio, Father & CAFOD partner. The Rough Guide to Multinational Corporations. Mexico: CAFOD
Hirts, Paul dan Thomson, Grahame. 2001. Globalisasi Adalah Mitos. Terjemahan P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jacson, R., & Sorensen, G. 1999. Introduction to International Relations. Oxford University Press
Kinley, David & Joseph, Sarah. 2002. Multinasional Corporations and Human Rights; Questions about their relationships. Dalam http://www.law.monash.edu. Diakses tanggal 10 Desember 2013
Mas’oed, Mohtar, 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.
Suwardi, C. Anna. 2008. Dampak Perusahaan Multinasional terhadap Komunitas Lokal di Papua (Studi Kasus: Interaksi PT. Freeport Indonesia dengan Komunitas Lokal di Papua). Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY.
Wirasenjaya, M. Adde. 2013, Negara, pasar dan Labirin Demokrasi. Yogyakarta: The Phinisi Pres
Kurniawan, Wd Erry. Keamanan Lingkungan Hidup Sebagai Antisipasi Ancaman Global Kerusakan Lingkungan. Dalam https://www.academia.edu. Diakses tanggal 11 November 2013.
Lipsey, Robert E. 1999. The Role of Foreign Investment in International Capital Flows. National Bureau of Economic Research. Dalam http://www.nber.org. Diakses 16 Desember 2013
Prleze, Jane dan Bonner, Raymond. 2005. Countain of Wealth, a River of Waste. Dalam http://www.nytimes.com.  Diakses 23 Desember 2013.
Wibowo, Wahyudi. 2013. We Should Gain More From FDI. Dalam http://www.thejakartapost.com/news. Diakses 23 Desember 2013
Wiguna, Octamandjaya. 2005. Keamanan Lingkungan Hidup dengan Memerangi Akarnya. Dalam http://www.tempo.co.  Diakses tanggal 23 November 2013.


Perdamaian dalam perspektif kontras; Realis vs Konstruktifis


    Anna C. Suwardi
Jogja: 7 Januari 2014
REALISME

Bayangan mengenai perspektif realis banyak tertuju pada seputar terminologi bahwa manusia itu jahat, dunia ini anarki dan orientasi pada kekuatan. Namun, ketika memandang suatu perspektif, perlu dilakukan pendekatan yang komprehensif terhadap beberapa asumsi dasarnya, sehingga tidak akan terjebak pada stigma-stigma yang cenderung dilabelkan kepada suatu perspektif.
            Pemikir realis yang paling vokal seperti Hans J. Morgenthau dengan tegas menjelaskan mengenai pergulatan antar negara di dunia adalah, berorientasi kepada kekuatan politik. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik sifat dasar manusia yang selfish bukannya jahat. Asumsi dasar realis ini diperkuat oleh Thompson, menurutnya, “the limitations which the sordid and selfish aspects of human nature place conduct of diplomacy” (1985: 20). Oleh karena sifat selfish inilah, manusia selalu mengarahkan semua kegiatannya pada ranah melindungi dirinya, memperkuat, dan cenderung ingin selalu menjadi dominan.
   Berangkat dari sifat dasar manusia yang selfish itulah, pemikiran realisme dianggap telah diadobsi oleh semua teori politik. Hal ini terkorelasi dari faktor human nature yang ada dalam asumsi dasar realis itu sendiri. Butterfield dalam Donelly mengatakan, “the difference between civilization and barbarism is a relevation of what is essentially the same human nature when it works under different conditions” (1949: 31). Orientasi terhadap kekuatan politik, tampak jelas dari asumsi ini. Realis mengusung gagasan tentang pencapaian kekuasaan melalui mekanisme politik, ini terimplikasi dengan “negara” sebagai aktor utama dalam pandangan realis.
            Setelah power menjadi tujuan utama manusia, maka realis menyimpulkan bahwa anarki akan selalu menjadi bagian dari dunia ini. Gilpin mempertegasnya bahwa karakter pemikiran realis adalah, “realis emphasize the constraints of politics imposed by human selfishness (egoism), the absence of international government (anarchy), the primary in all political life of power and security” (1986: 305). Kemudian ditambahai oleh Donnelly yang menyimpulkan realisme sebagai perspektif tentang, “a limited yet powerful and important approach to and set of insight about international relations”. Maka kesimpulan yang ditarik oleh Keohane tentang pemikiran realis yakni, “rationality and state-centrism are frequently identified as core realist premises” (1986:164-165).

KONSTRUKTIVISME
Perspektif konstuktivisme tergolong sebagai pemikiran baru dalam dunia hubungan internasional, setelah kurun waktu 1980an struktur hubungan internasional didominasi oleh perdebatan seputar Amerika-sentris. Pemikiran ini juga lahir atas kritiknya terhadap teori rasionalis dan teori kritis.
Reus-Smit memandang konstuktivisme adalah, “characterized by an emphasis on the importance of normative as well as material structures, on the role of identify in shaping political action and the mutually constitutive relationship between agents and structures” (2005: 188). Dari pandangan ini, dapat diketahui bahwasannya konstruktifis mengangkat tentang pentingnya memgatur stuktur sosial, ini dapat dilakukan melalui interaksi antara agen atau aktor dalam struktur tersebut.
Terdapat empat faktor yang melatar belakangi kemunculan perpektif konstruktivisme. Pertama, motivated by an attempt to reassert the pre-eminence of their own conceptions of theory and world politics. Kedua, the end of Cold War undermine the explanatory pretentions of neo-realists and neo-liberals. Ketiga, by the beginning of the 1990s a new generation of young scholars had emerged who embraced many of the propositions of critical international theory. Keempat, the advance of the new constructivist perspective was aided by the enthusiasm that mainstream scholars, frustrated by analithical failings of the dominant rasionalist theories. (Smit: 2005-196)
Tiga asumsi dasar konstruktivisme, pertama, struktur membentuk karakter aktor sosial dan politik. Struktur material yang terpenting adalah normative dan ideational. Kedua, konstruktifis berisikan esensi bahwa agen dan struktur adalah  mutually constituted. Inilah yang menegaskan, mengapa konstruktivis dinamakan “konstruktifis” karena mementingkan determinasi sosial terhadap agen sosial dan politik dan aksi.
Berikut tabel perbedaan asumsi dasar perspektif Realisme dan Konstruktivisme.
FEATURE
REALISM
CONSTRUKTIVISM
Key Units
Independent States
Social groups, their socially constructed images of international conditions
Core Concern
War and security
Social collectivities, shared meanings and images of contemporary international life: the theoretical implication of these visions
Major Approach
Balance of power
Advocacy of normative innovation through construction of new images; tracking assumptions within various theoretical traditions; discovering how and why theories color mental maps of worls affairs
Outlook on Global Prospects
Pessimistic/stability
Neither optimistic, nor pessimistic, depending on the most popular or socially accepted visisons about the potential for humanity to engineer changes that either improve or harm future global conditions
Motives of Actors
National interest; zero-sum competition; security; power
Contingent upon the socially constructed explanations about the basic drives of international actors in various epochs
Central Concepts
Anarchy; power; national interest; balance of power; polarity
Ideas, identities; ideals; images-all as socially constructed by various groups
Policy Prescriptions
Increase national power; resist reduction of national autonomy
Broaden understanding of the ways international actors construct their images of international relations to clarify the limitations of rival theoretical interpretations and the policies on which they are based
Sumber: Kegley & Witkopff. World Politics: Trend and Transformation, 2006

BAGAIMANA REALISME DAN KONSTUKTIVISME MEMANDANG “PERDAMAIAN”
Perdamaian menjadi suatu tema yang terus menyita perhatian banyak kalangan, didalam konstelasi dunia internasional, perdebatan seputar perdamaian ini semakin menguat pasca berahirnya Perang Dingin. Menjadi menarik, ketika membicarakan perdamaian menggunakan dua perspektif yang berbeda dalam ranah hubungan internasional.
Konstruktivisme menjadi sebuah perspektif yang menawarkan pemikiran mengenai sebuah tatanan struktur sosial terhadap dunia internasional. Identitas menjadi esensi utama dalam suatu interaksi antar aktor, disinilah orientasi terhadap terciptanya inter subjective meaning dilakukan. Konstruktifis mendefinisikan perdamaian dengan asumsi bahwa perdamaian itu tercipta melalui proses konstruksi sosial yang dilakukan melalui inter subjective.
Alat yang digunakan untuk mencapai perdamaian, digagas konstruktifis dengan menggunakan open dialog. Pentingnya menjalin interaksi melalui dialog untuk membangun kesamaan pemahaman. Karena persepsi masing-masing aktor/agen sering mengalami perbedaan, disebabkan oleh macetnya dialog dan perbedaan pemahaman diantara mereka. Konflik tercipta dilihat sebagai bentuk dari kemandegan suatu hubungan interaksi yang tidak menghasilkan kesepemahaman. Disinilah tatanan ide dan norma menjadi ranah konstruktifis.
   Hal inilah yang menginisiasi konstruktifis sebagai perspektif yang tergolong dalam positive peace. Asumsi dasar yang diusung konstruktifis sejalan dengan inner peace. Pencapaian  perdamaian terwujud ketika sampai pada tatanan ketiadaan kekerasan. Pada intinya, konstruktifis memandang perdamaian akan tercipta melalui dialog yang berjalan antar agen/aktor untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan melalui penyamaan asumsi atau pendapat.  
Pandangan tentang perdamaian terjadi berbeda dipandang dari perspektif realisme. Perspektif ini yang termasuk dalam kategori grand debate dalam ilmu hubungan internasional. Realisme memiliki pendekatan yang paling terkenal dengan label pemikiran yang mengutamakan power, dan menganggap dunia ini anarki. Hal ini tentu saja membuat perspektif ini terkesan tidak memiliki orientasi terhadap perdamaian. Lalu benarkah realisme tak memandang penting menciptakan perdamaian dalam dunia internasional?
Realisme tetap menganggap perlunya menciptakan damai dalam kehidupan manusia, akan tetapi dengan pandangan yang berbeda. Asumsi dasar realis tentang karakter manusia yang selfish/egois, menghasilkan pandangan bahwa perdamaian dipandang ketika terjadinya keseimbangan kekuatan antar manusia, begitu juga antar negara (balance of power). Ini juga terkait dengan penekanan realis yang cenderung mementingkan aspek kestabilan, sebagai representasi bentuk perhatiannya terhadap perdamaian itu sendiri. Menurut realis, tatanan stabil akan menentukan kondisi yang seimbang, ketika ini sudah terbentuk dalam tatanan kehidupan, perdamaian itulah akan tercipta.
Berangkat dari pandangan realis tentang definisi perdamaian diatas, maka alat yang digunakan untuk mencapai perdamaian itu adalah, balancing. Ketika semua aktor telah mampu menyeimbangkan kekuaatan, maka akan terbentuk kondisi saling segan. Inilah yang digagas realis untuk menciptakan perdamaian. Dalam tatanan keamanan internasional, realis mengusung alat perdamaian berupa arms control.
Dalam kategori perdamaian, pandangan realisme tergolong dalam negative peace. Menurut realis, damai itu ketika sudah tidak terjadi perang besar. Perang-perang kecil diposisikan untuk mencegah terjadinya perang besar. Negative peace membahas tentang proses perdamaian sampai pada ketika ketiadaan perang saja. Belum mencapai tatanan ketiadaan kekerasan.
Berikut tabel untuk mempermudah membedakan dua perspektif antara realisme dan kosntruktivisme dalam memandang perdamaian.

REALISME
KONSTRUKTIVISME
Definisi perdamaian
Balance of power
Peace socially constructed by inter subjective
Alat perdamaian
Balancing by arms control
Open dialog
Perdamaian + / -
-          peace
+ peace
Aktor
State
State / non-state
Tokoh
Hans J. Morhenthau
Alexander Wendt

REFERENSI
Witkopff, R. Eugene, dan Kegley, W. Charles. 2006. Trend and Transformation, 10th editions. California: Thompson Wadsworth
Burchil, Schott dan Linklater, Andrew et.al. 2005. Theories of International Relations. 3rd editions. New York: Palgrave Macmillan
Barash, P. David, 2000, Approaches to Peace, New York: Oxford University Press