Anna C. Suwardi
Jogja: 7 Januari 2014
REALISME
Bayangan mengenai perspektif realis banyak tertuju
pada seputar terminologi bahwa manusia itu jahat, dunia ini anarki dan
orientasi pada kekuatan. Namun, ketika memandang suatu perspektif, perlu
dilakukan pendekatan yang komprehensif terhadap beberapa asumsi dasarnya,
sehingga tidak akan terjebak pada stigma-stigma yang cenderung dilabelkan
kepada suatu perspektif.
Pemikir
realis yang paling vokal seperti Hans J. Morgenthau dengan tegas menjelaskan
mengenai pergulatan antar negara di dunia adalah, berorientasi kepada kekuatan
politik. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik sifat dasar manusia yang selfish bukannya jahat. Asumsi dasar realis ini
diperkuat oleh Thompson, menurutnya, “the
limitations which the sordid and selfish aspects of human nature place conduct
of diplomacy” (1985: 20). Oleh karena sifat selfish inilah, manusia selalu mengarahkan semua kegiatannya pada
ranah melindungi dirinya, memperkuat, dan cenderung ingin selalu menjadi
dominan.
Berangkat dari sifat dasar manusia yang selfish itulah, pemikiran realisme
dianggap telah diadobsi oleh semua teori politik. Hal ini terkorelasi dari
faktor human nature yang ada dalam
asumsi dasar realis itu sendiri. Butterfield dalam Donelly mengatakan, “the difference between civilization and
barbarism is a relevation of what is essentially the same human nature when it
works under different conditions” (1949: 31). Orientasi terhadap kekuatan
politik, tampak jelas dari asumsi ini. Realis mengusung gagasan tentang
pencapaian kekuasaan melalui mekanisme politik, ini terimplikasi dengan
“negara” sebagai aktor utama dalam pandangan realis.
Setelah
power menjadi tujuan utama manusia, maka
realis menyimpulkan bahwa anarki
akan selalu menjadi bagian dari dunia ini. Gilpin mempertegasnya bahwa karakter
pemikiran realis adalah, “realis
emphasize the constraints of politics imposed by human selfishness (egoism),
the absence of international government (anarchy), the primary in all political
life of power and security” (1986: 305). Kemudian ditambahai oleh Donnelly yang
menyimpulkan realisme sebagai perspektif tentang, “a limited yet powerful and important approach to and set of insight
about international relations”. Maka kesimpulan yang ditarik oleh Keohane
tentang pemikiran realis yakni, “rationality
and state-centrism are frequently identified as core realist premises” (1986:164-165).
KONSTRUKTIVISME
Perspektif konstuktivisme tergolong sebagai
pemikiran baru dalam dunia hubungan internasional, setelah kurun waktu 1980an
struktur hubungan internasional didominasi oleh perdebatan seputar
Amerika-sentris. Pemikiran ini juga lahir atas kritiknya terhadap teori
rasionalis dan teori kritis.
Reus-Smit memandang konstuktivisme adalah, “characterized by an emphasis on the
importance of normative as well as material structures, on the role of identify
in shaping political action and the mutually constitutive relationship between
agents and structures” (2005: 188). Dari pandangan ini, dapat diketahui
bahwasannya konstruktifis mengangkat tentang pentingnya memgatur stuktur
sosial, ini dapat dilakukan melalui interaksi antara agen atau aktor dalam
struktur tersebut.
Terdapat empat faktor yang melatar belakangi
kemunculan perpektif konstruktivisme. Pertama, motivated by an attempt to reassert the pre-eminence of their own
conceptions of theory and world politics. Kedua, the end of Cold War undermine the explanatory pretentions of
neo-realists and neo-liberals. Ketiga, by
the beginning of the 1990s a new generation of young scholars had emerged who
embraced many of the propositions of critical international theory.
Keempat, the advance of the new
constructivist perspective was aided by the enthusiasm that mainstream
scholars, frustrated by analithical failings of the dominant rasionalist
theories. (Smit: 2005-196)
Tiga asumsi dasar konstruktivisme, pertama, struktur
membentuk karakter aktor sosial dan politik. Struktur material yang terpenting
adalah normative dan ideational.
Kedua, konstruktifis berisikan esensi bahwa agen dan struktur adalah mutually constituted. Inilah yang
menegaskan, mengapa konstruktivis dinamakan “konstruktifis” karena mementingkan
determinasi sosial terhadap agen sosial dan politik dan aksi.
Berikut tabel perbedaan asumsi dasar perspektif
Realisme dan Konstruktivisme.
FEATURE
|
REALISM
|
CONSTRUKTIVISM
|
Key Units
|
Independent States
|
Social groups, their
socially constructed images of international conditions
|
Core Concern
|
War and security
|
Social
collectivities, shared meanings and images of contemporary international
life: the theoretical implication of these visions
|
Major Approach
|
Balance of power
|
Advocacy of normative
innovation through construction of new images; tracking assumptions within
various theoretical traditions; discovering how and why theories color mental
maps of worls affairs
|
Outlook on Global
Prospects
|
Pessimistic/stability
|
Neither optimistic,
nor pessimistic, depending on the most popular or socially accepted visisons
about the potential for humanity to engineer changes that either improve or
harm future global conditions
|
Motives of Actors
|
National interest;
zero-sum competition; security; power
|
Contingent upon the
socially constructed explanations about the basic drives of international
actors in various epochs
|
Central Concepts
|
Anarchy; power;
national interest; balance of power; polarity
|
Ideas, identities;
ideals; images-all as socially constructed by various groups
|
Policy Prescriptions
|
Increase national
power; resist reduction of national autonomy
|
Broaden understanding
of the ways international actors construct their images of international
relations to clarify the limitations of rival theoretical interpretations and
the policies on which they are based
|
Sumber: Kegley & Witkopff. World Politics: Trend
and Transformation, 2006
BAGAIMANA REALISME DAN KONSTUKTIVISME
MEMANDANG “PERDAMAIAN”
Perdamaian menjadi suatu tema yang terus menyita
perhatian banyak kalangan, didalam konstelasi dunia internasional, perdebatan
seputar perdamaian ini semakin menguat pasca berahirnya Perang Dingin. Menjadi
menarik, ketika membicarakan perdamaian menggunakan dua perspektif yang berbeda
dalam ranah hubungan internasional.
Konstruktivisme menjadi sebuah perspektif yang
menawarkan pemikiran mengenai sebuah tatanan struktur sosial terhadap dunia
internasional. Identitas menjadi esensi utama dalam suatu interaksi antar
aktor, disinilah orientasi terhadap terciptanya inter subjective meaning
dilakukan. Konstruktifis mendefinisikan perdamaian dengan asumsi bahwa
perdamaian itu tercipta melalui proses konstruksi sosial yang dilakukan melalui
inter subjective.
Alat yang digunakan untuk mencapai perdamaian,
digagas konstruktifis dengan menggunakan open dialog. Pentingnya menjalin interaksi
melalui dialog untuk membangun kesamaan pemahaman. Karena persepsi
masing-masing aktor/agen sering mengalami perbedaan, disebabkan oleh macetnya
dialog dan perbedaan pemahaman diantara mereka. Konflik tercipta dilihat
sebagai bentuk dari kemandegan suatu hubungan interaksi yang tidak menghasilkan
kesepemahaman. Disinilah tatanan ide dan norma menjadi ranah konstruktifis.
Hal
inilah yang menginisiasi konstruktifis sebagai perspektif yang tergolong dalam positive
peace. Asumsi dasar yang
diusung konstruktifis sejalan dengan inner
peace. Pencapaian perdamaian
terwujud ketika sampai pada tatanan ketiadaan kekerasan. Pada intinya,
konstruktifis memandang perdamaian akan tercipta melalui dialog yang berjalan antar
agen/aktor untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan melalui penyamaan asumsi atau
pendapat.
Pandangan tentang perdamaian terjadi berbeda
dipandang dari perspektif realisme. Perspektif ini yang termasuk dalam kategori
grand debate dalam ilmu hubungan
internasional. Realisme memiliki pendekatan yang paling terkenal dengan label
pemikiran yang mengutamakan power, dan
menganggap dunia ini anarki. Hal ini tentu saja membuat perspektif ini terkesan
tidak memiliki orientasi terhadap perdamaian. Lalu benarkah realisme tak
memandang penting menciptakan perdamaian dalam dunia internasional?
Realisme tetap menganggap perlunya menciptakan damai
dalam kehidupan manusia, akan tetapi dengan pandangan yang berbeda. Asumsi
dasar realis tentang karakter manusia yang selfish/egois,
menghasilkan pandangan bahwa perdamaian dipandang ketika terjadinya
keseimbangan kekuatan antar manusia, begitu juga antar negara (balance
of power). Ini juga terkait dengan penekanan realis yang cenderung
mementingkan aspek kestabilan, sebagai representasi bentuk perhatiannya
terhadap perdamaian itu sendiri. Menurut realis, tatanan stabil akan menentukan
kondisi yang seimbang, ketika ini sudah terbentuk dalam tatanan kehidupan,
perdamaian itulah akan tercipta.
Berangkat dari pandangan realis tentang definisi
perdamaian diatas, maka alat yang digunakan untuk mencapai perdamaian itu
adalah, balancing. Ketika semua aktor telah mampu menyeimbangkan
kekuaatan, maka akan terbentuk kondisi saling segan. Inilah yang digagas realis
untuk menciptakan perdamaian. Dalam tatanan keamanan internasional, realis
mengusung alat perdamaian berupa arms control.
Dalam kategori perdamaian, pandangan realisme
tergolong dalam negative peace. Menurut
realis, damai itu ketika sudah tidak
terjadi perang besar. Perang-perang kecil diposisikan untuk mencegah terjadinya
perang besar. Negative peace membahas
tentang proses perdamaian sampai pada ketika ketiadaan perang saja. Belum
mencapai tatanan ketiadaan kekerasan.
Berikut tabel untuk mempermudah membedakan dua
perspektif antara realisme dan kosntruktivisme dalam memandang perdamaian.
|
REALISME
|
KONSTRUKTIVISME
|
Definisi
perdamaian
|
Balance
of power
|
Peace
socially constructed by inter subjective
|
Alat
perdamaian
|
Balancing
by arms control
|
Open
dialog
|
Perdamaian
+ / -
|
-
peace
|
+
peace
|
Aktor
|
State
|
State
/ non-state
|
Tokoh
|
Hans
J. Morhenthau
|
Alexander
Wendt
|
REFERENSI
Witkopff,
R. Eugene, dan Kegley, W. Charles. 2006. Trend
and Transformation, 10th editions. California: Thompson
Wadsworth
Burchil,
Schott dan Linklater, Andrew et.al. 2005. Theories
of International Relations. 3rd editions. New York: Palgrave
Macmillan
Barash, P.
David, 2000, Approaches to Peace, New
York: Oxford University Press
No comments:
Post a Comment