Tuesday, July 30, 2013

Marah


Marah*

31 Juli 2013

Adalah rasa marah massa yang pada penghujung cerita menyatukan kekuatannya, sebagai akumulasi atas tekanan, kediktatoran, kekejaman, penghianatan, dan segala rupa kebobrokan berkepanjangan oleh sosok pemegang tampuk kekuasaan ditanah tempat mereka hidup. Mereka memberontak! Disamping kokohnya Piramida, dibawah menjulangnya tugu Monas, diseberang Mutiara Gurun, juga dibalik kekarnya benteng Santiago.

Marah itu menuangkan segala energinya, menembus benteng pertahanan rezim Husni Mubarak dinegeri Piramida itu. Awal tahun 2011 dibuka dengan gejolak protes massa besar-besaran atas kediktatoran Mubarak selama tiga puluh tahun menduduki kursi tertinggi tanah Mesir. Tampuk kekuasaan berpuluh tahun, realitanya telah membuat silau sang Marsekal Utama itu, terbuai kenikmatan kuasa dengan segala kehendak hatinya.

Ia yang dulu sosok pahlawan dalam medan perang itu, telah berubah haluan, tak lagi responsif akan kepentingan rakyat, tak lagi peka akan derita kaum marginal, cenderung abai terhadap kepentingan hidup rakyatnya. Sabar massa telah tiba dititik nadir, marahlah yang jadi pemenangnya, aksi massa bergerak serentak, meneriakkan protes dan tuntutan turunnya tahta Mubarak. Perjuangan rakyat Mesir untuk melepaskan diri dari sosok diktatorian Mubarak menuai hasil, 11 Februari 2011 Mubarak mengumumkan pengunduran dirinya melalui media televisi.

Negeri Piramida belum bisa bernapas lega, karena kemarahan-kemarahan masih muncul hingga kini. Tahun 2013 ini Mesir kembali memanas, bahkan cenderung lebih pelik ketimbang tergulingnya Mubarak kala itu. Ya, Mohhamad Mursi telah menjadi Presiden yang tergulingkan lagi. Namun yang menjadikan momen ini lebih memprihatinkan dimata dunia, yakni ketika massa Mesir terbelah menjadi dua kubu, pro dan kontra Mursi. Sesama rakyat saling baku hantam, pertumpahan darah tak bisa terelakkan, maka daftar panjang jumlah kematian rakyat yang “marah” itu semakin panjang.  
Demikian pula dengan negeri zamrud khatulistiwa, marah itu pernah meledak ditahun 1998. Tanah subur, limpahan kekayaan alam yang membentang dipertiwi ini, dikuasai oleh sosok yang menjadikan dirinya sendiri “dewa” dengan senyuman “palsu”nya, dialah Soeharto. Tiga puluh dua tahun ia menguasai Indonesia, dengan hasil digadaikannya berbagai sumber alam kepada tangan-tangan kapitalis. Ia kumpulkan pundi-pundi kekayaan dalam kerajaan bisnis keluarganya, yang hingga kini belum habis dimakan tujuh tujuh keturunannya. Para cendekiawan dan intelektual yang masih memiliki hati nurani, positivisme dan semangat perubahan terkumpul kembali. Bersatu berpegang tangan, berteriak, turun ke jalanan ibu kota tanpa rasa takut akan aliran darah dan melayangya nyawa sekalipun.
Demonstrasi akbar digelar oleh hampir seluruh elemen masyarakat, terutama Mahasiswa, merekalah pahlawan dimasa itu, meneriakkan Reformasi harga mati bagi pertiwi. Kobaran api asa untuk menyelamatkan pertiwi dari diktatorian korup rezim Soeharto semakin membara, bersama tokoh sentral dalam Kelompok Ciganjur (Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X )  perjuangan mahasiswa mencapai puncaknya, dengan mundurnya Soeharto dari kursi kuasanya. Monas pun seolah tersenyum menjadi saksi bisu runtuhnya belenggu itu.
Dibelahan dunia asia lain, terlihat kekekaran benteng Santiago tak ubahnya menjadi simbol pendamping setia semangat juang rakyat Filipina. Kemarahan rakyat terhadap tokoh utama pemimpin negerinya pernah terjadi di awal tahun 2001. Giliran Joseph Estrada yang harus memetik hasil kegemarannya memerintah secara koruptif, buai dengan penumpukan kekayaan pribadinya. Maka, marah itu kembali menyala! Semua elemen pendukungnya satu persatu memundurkan langkah menarik dukungannya, tersadarkan dari kemarahan massa Filipin yang telah jengah dengan perangai rezim Estrada. Militer, kepolisian, dan anggota kabinetnya bersatu mendukung rakyat. Estrada harus digulingkan! Kemarahan massa meraih kemenagannya, dengan keluarnya ketetapan Mahkamah Agung yang menunjuk wakil presiden Arroyo sebagai pengganti Estrada kala itu. 
Marah itu berkobar pula didataran Afrika, lagi-lagi kediktaroran yang berkepanjangan menjadi penyulutnya. Libya dalam gengaman kepemimpinan Muammar Khadafi selama empat puluh satu tahun, diahiri oleh marah massa itu! Campur tangan si Adi kuasa dengan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utaranya (NATO) menjadi suntikan tenaga terhadap massa Libya. Oktober 2011, Khadafi tewas dalam aksi serangan kemarahan massa Libya. Rakyat yang telah berpuluh tahun dalam kendali kuasanya, telah memberontak, dan mengahiri rezim sang kolonel itu dalam kesaksian bisu Mutiara Gurun.
Ya, marah itulah sebagai bekal awal sebuah kekuatan bagi jiwa-jiwa yang tertindas. Marah pula yang menjadikan massa sebagai suatu senjata ampuh terhadap gerilya perlawanannya melawan sosok  yang mungkin tampak terlalu kuasa, kokoh, dengan seluruh powernya. Tapi marah dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa persatuan kemarahan massa yang tak memiliki digdaya, dapat berubah menjadi super dalam memperjuangkan hak-haknya.
Disamping kokohnya Piramida, dibawah menjulangnya tugu Monas, diseberang Mutiara Gurun, juga dibalik kekarnya benteng Santiago. Barangkali bangunan-bangunan itu hanya segelintir saksi-saksi bisu kemarahan massa. Tentunya masih banyak lagi saksi bisu diberbagai belahan bumi lainnya. Inilah yang menunjukkan manakala rakyat adalah sumber kedaulatan inti dalam suatu negara. Maka selayaknya seorang pemimpin negeri hendaklah bernurani, senantiasa pro kepentingan rakyat, tangguh dalam membangun negerinya dengan pilar nasionalisme yang dapat menciptakan kearifan dimata dunia.
Marah akan dapat terpendam, bahkan terkubur tanpa ada ruang baginya untuk membara disetiap relung jiwa rakyat yang berjumlah massa. Jika selama kondisi hidup rakyat terjamin, terpelihara sinergi yang harmoni antara pemimpin dengan rakyatnya. Menciptakan tatanan keberlangsungan negara yang rapi, bermartabat dalam kemakmuran yang hakiki. Maka jika demikian, yang sering disebut sebagai “kudeta” selayaknya tak pernah terdengar lagi dimuka bumi ini, karena telah lenyapnya “marah” itu!
By: Anna Christi Suwardi
* Tulisan ini terinspirasi dari karya Goenawan Mohammad
 
  



 


No comments:

Post a Comment