Marah*
31 Juli 2013
Adalah rasa
marah massa
yang pada penghujung cerita menyatukan kekuatannya, sebagai akumulasi atas
tekanan, kediktatoran, kekejaman, penghianatan, dan segala rupa kebobrokan
berkepanjangan oleh sosok pemegang tampuk kekuasaan ditanah tempat mereka
hidup. Mereka memberontak! Disamping kokohnya Piramida, dibawah menjulangnya
tugu Monas, diseberang Mutiara Gurun, juga dibalik kekarnya benteng Santiago .
Marah itu
menuangkan segala energinya, menembus benteng pertahanan rezim Husni Mubarak
dinegeri Piramida itu. Awal tahun 2011 dibuka dengan gejolak protes massa besar-besaran atas
kediktatoran Mubarak selama tiga puluh tahun menduduki kursi tertinggi tanah
Mesir. Tampuk kekuasaan berpuluh tahun, realitanya telah membuat silau sang
Marsekal Utama itu, terbuai kenikmatan kuasa dengan segala kehendak hatinya.
Ia yang dulu
sosok pahlawan dalam medan
perang itu, telah berubah haluan, tak lagi responsif akan kepentingan rakyat,
tak lagi peka akan derita kaum marginal, cenderung abai terhadap kepentingan
hidup rakyatnya. Sabar massa telah tiba dititik
nadir, marahlah yang jadi pemenangnya, aksi massa bergerak serentak, meneriakkan protes
dan tuntutan turunnya tahta Mubarak. Perjuangan rakyat Mesir untuk melepaskan
diri dari sosok diktatorian Mubarak menuai hasil, 11 Februari 2011 Mubarak
mengumumkan pengunduran dirinya melalui media televisi.
Negeri Piramida
belum bisa bernapas lega, karena kemarahan-kemarahan masih muncul hingga kini.
Tahun 2013 ini Mesir kembali memanas, bahkan cenderung lebih pelik ketimbang
tergulingnya Mubarak kala itu. Ya, Mohhamad Mursi telah menjadi Presiden yang
tergulingkan lagi. Namun yang menjadikan momen ini lebih memprihatinkan dimata
dunia, yakni ketika massa
Mesir terbelah menjadi dua kubu, pro dan kontra Mursi. Sesama rakyat saling baku hantam, pertumpahan
darah tak bisa terelakkan, maka daftar panjang jumlah kematian rakyat yang
“marah” itu semakin panjang.
Demikian pula dengan negeri zamrud khatulistiwa, marah itu pernah meledak
ditahun 1998. Tanah subur, limpahan kekayaan alam yang membentang dipertiwi
ini, dikuasai oleh sosok yang menjadikan dirinya sendiri “dewa” dengan senyuman
“palsu”nya, dialah Soeharto. Tiga puluh dua tahun ia menguasai Indonesia ,
dengan hasil digadaikannya berbagai sumber alam kepada tangan-tangan kapitalis.
Ia kumpulkan pundi-pundi kekayaan dalam kerajaan bisnis keluarganya, yang
hingga kini belum habis dimakan tujuh tujuh keturunannya. Para
cendekiawan dan intelektual yang masih memiliki hati nurani, positivisme dan
semangat perubahan terkumpul kembali. Bersatu berpegang tangan, berteriak,
turun ke jalanan ibu kota
tanpa rasa takut akan aliran darah dan melayangya nyawa sekalipun.
Demonstrasi akbar digelar oleh hampir seluruh elemen masyarakat,
terutama Mahasiswa, merekalah pahlawan dimasa itu, meneriakkan Reformasi harga
mati bagi pertiwi. Kobaran api asa untuk menyelamatkan pertiwi dari diktatorian
korup rezim Soeharto semakin membara, bersama tokoh sentral dalam Kelompok
Ciganjur (Abdurrahman
Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X ) perjuangan mahasiswa
mencapai puncaknya, dengan mundurnya Soeharto dari kursi kuasanya. Monas pun
seolah tersenyum menjadi saksi bisu runtuhnya belenggu itu.
Dibelahan dunia asia lain, terlihat kekekaran benteng Santiago tak ubahnya
menjadi simbol pendamping setia semangat juang rakyat Filipina. Kemarahan
rakyat terhadap tokoh utama pemimpin negerinya pernah terjadi di awal tahun
2001. Giliran Joseph Estrada yang harus memetik hasil kegemarannya memerintah
secara koruptif, buai dengan penumpukan kekayaan pribadinya. Maka, marah itu
kembali menyala! Semua elemen pendukungnya satu persatu memundurkan langkah
menarik dukungannya, tersadarkan dari kemarahan massa Filipin yang telah jengah dengan
perangai rezim Estrada. Militer, kepolisian, dan anggota kabinetnya bersatu
mendukung rakyat. Estrada harus digulingkan! Kemarahan massa meraih kemenagannya, dengan keluarnya
ketetapan Mahkamah Agung yang menunjuk wakil presiden Arroyo sebagai pengganti
Estrada kala itu.
Marah itu berkobar pula didataran Afrika, lagi-lagi kediktaroran
yang berkepanjangan menjadi penyulutnya. Libya
dalam gengaman kepemimpinan Muammar Khadafi selama empat puluh satu tahun,
diahiri oleh marah massa
itu! Campur tangan si Adi kuasa dengan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik
Utaranya (NATO) menjadi suntikan tenaga terhadap massa
Libya .
Oktober 2011, Khadafi tewas dalam aksi serangan kemarahan massa
Libya .
Rakyat yang telah berpuluh tahun dalam kendali kuasanya, telah memberontak, dan
mengahiri rezim sang kolonel itu dalam kesaksian bisu Mutiara Gurun.
Ya, marah itulah sebagai bekal awal sebuah kekuatan bagi jiwa-jiwa
yang tertindas. Marah pula yang menjadikan massa sebagai suatu senjata ampuh terhadap
gerilya perlawanannya melawan sosok yang
mungkin tampak terlalu kuasa, kokoh, dengan seluruh powernya. Tapi marah dapat
menunjukkan kepada dunia, bahwa persatuan kemarahan massa yang tak memiliki digdaya, dapat
berubah menjadi super dalam memperjuangkan hak-haknya.
Disamping kokohnya Piramida, dibawah menjulangnya tugu Monas,
diseberang Mutiara Gurun, juga dibalik kekarnya benteng Santiago . Barangkali bangunan-bangunan itu
hanya segelintir saksi-saksi bisu kemarahan massa . Tentunya masih banyak lagi saksi bisu
diberbagai belahan bumi lainnya. Inilah yang menunjukkan manakala rakyat adalah
sumber kedaulatan inti dalam suatu negara. Maka selayaknya seorang pemimpin
negeri hendaklah bernurani, senantiasa pro kepentingan rakyat, tangguh dalam
membangun negerinya dengan pilar nasionalisme yang dapat menciptakan kearifan dimata
dunia.
Marah akan dapat terpendam, bahkan terkubur tanpa ada ruang baginya
untuk membara disetiap relung jiwa rakyat yang berjumlah massa . Jika selama kondisi hidup rakyat
terjamin, terpelihara sinergi yang harmoni antara pemimpin dengan rakyatnya. Menciptakan
tatanan keberlangsungan negara yang rapi, bermartabat dalam kemakmuran yang
hakiki. Maka jika demikian, yang sering disebut sebagai “kudeta” selayaknya tak
pernah terdengar lagi dimuka bumi ini, karena telah lenyapnya “marah” itu!
By: Anna Christi Suwardi
* Tulisan ini terinspirasi dari karya Goenawan Mohammad
No comments:
Post a Comment