Thursday, July 11, 2013

Dalam Nestapa si Cumlaude Melarat


Dalam Nestapa si Cumlaude Melarat

By: Anna Christi Suwardi

Lalim! Zolim! dan hina!, mungkin begitulah ungkapan-ungkapan kemarahan, kekecewaan para intelektual yang berhati murni di sebuah kabupaten dipelosok Jambi. Di Merangin tepatnya, dari daerah ini setiap tahunnya berduyun-duyun siswa yang merantau ketanah Jawa, menimba ilmu di berbagai universitas kenamaan di pulau termodern republik ini. Mereka bertekad memperkaya ilmu dan pengetahuannya guna meningkatkan kualitas pendidikannya dalam khasanah yang tulus.
Mahasiswa Merangin tidak sedikit jumlahnya, mereka datang dari dusun-dusun, yang terbiasa hidup dengan keterbatasan infrastruktur. Sering kali mereka berangkat dengan baju bersih dan rapi, namun seolah seperti orang habis bermandi lumpur setibanya di tempat tujuan. Ya, jarak tempuh yang jauh dengan jalanan minim aspal yang kebanyakan bertanah liat. Licin sudah barang tentu selalu dinikmati saat musim penghujan, dan taburan debu tebal selalu saja bak sauna disaat musim kemarau menghampiri.
Di tengah berbagai latar belakang keterbatasan itu, maka setibanya mahasiswa perantauan di tanah Jawa, mereka terbelah menjadi dua kutub. Tanah Jawa yang si empunya ibu kota Indonesia, dan bertahtanya kota-kota besar dengan segala kenyamanannya, kemudahan segala akses, ketersediaan segala fasilitas publik, dan buaian kenikmatan sosial terdisplai luas, termasuk di Perguruan Tinggi dimana anak-anak dusun Merangin itu berkuliah.
Di satu kutub, bagi para anak dusun yang orangtuanya adalah toke-toke karet, tengkulak-tengkulah sawit, bos-bos transportasi, dan petinggi-petinggi di Merangin, sudah barang tentu mensuplai anak-anak mereka dengan uang bulanan yang berlebih. Tansferan kerekening mereka sudah diluar ongkos kuliah, begitu gemuk dompet-dompet mereka untuk hanya sekedar hang-out di café-café mahal, shoping fashion model ter-update di mall-mall kenamaan dan sebagainya.
Begitulah anak-anak dusun yang terserang culture shock[1] di kota-kota besar. Mereka mayoritas mengalami pergeseran tujuan utama pengembanan tugasnya dalam menimba ilmu. Mereka lupa, lalai, bahkan terkesan “gumun” dan terpesona kemolekkan keramain kota. Pada saat jadwal perkuliahan seringkali nama-nama mereka berubah jadi hantu, parafnya ada didalam daftar absensi kedatangan namun bangkunya kosong tak bertuan. Tugas-tugas perkuliahan mereka sepelekan dengan membeli paper instant di loakan, ujian semester mereka jadikan wahana berselancar dengan karya contekannya. Sehingga calo-calo skripsi abal-abal yang menjadi teman setia mereka, dipenghujung masa studinya. Gila bukan!
Namun di kutub lain, bagi para anak-anak dusun yang berbekalkan wejangan-wejangan mendalam dengan ketegasan dari para orang tuanya. Mereka, yang berangkat ke Jawa dengan modal raport prestasi, lengkap dengan surat keterangan miskin dari kepala desa. Adapula yang telah menyiapkan surat keterangan anak guru dari dinas pendidikan setempat yang kelak akan mereka sodorkan untuk memenuhi persyaratan beasiswa prestasi. Lumayan lah, bisa mereka gunakan untuk meringankan  orangtua atas tanggungan biaya kuliah dan sedikit menjadi penolong isi kantong mereka.
Ya, merekalah! Para anak dusun yang giat, yang orang tuanya buruh dodos[2], penyadap getah karet upahan, pedagang sayur di pasar Bangko, dan ada pula yang orangtuanya kuli tinta di sekolah-sekolah impress. Pas-pasan, bahkan sering kali kurang, begitulah nestapa anak-anak dusun yang minim kiriman biaya hidupnya. Itupun mereka lebih utamakan untuk jaga-jaga biaya foto kopi materi perkuliahan, ketimbang harus mereka bayarkan untuk nongkrong di kantin dengan menu makanan lengkap. Cukuplah nasi tim yang mereka masak di kos-kosannya, sebagai bekal tenaga meniti tugas mulianya di tanah rantau.
Mereka tekun, teguh pendirian, bahkan mereka seolah alergi dengan kemegahan dan riuh ramai kota. Fokus mereka hanya satu, perkuliahannya! Menapaki setiap lorong kecil disela kos-kosan mewah yang hanya mampu mereka impikan saja untuk singgah di dalamnya, mereka berjalan menuju kampusnya dengan semangat. Terik matahari dan derasnya hujan tak pernah mereka jadikan penghalang. Say no to “C” mayoritas menjadi jargon mereka dalam mendapatkan nilai ahir perkuliahan. Kemurnian tugas-tugas mereka jaga, ketajaman dan kemurnian gagasan dalam skripsinya mereka utamakan. Sehingga CUMLAUDE adalah harga mati buat kelulusan mereka! Yang mereka persembahkan sebagai hadiah indah untuk kemuliaan hati dan jerih payah orangtuanya.
            Lalu tahukah anda, siapa yang akan menjadi “orang” yang diperhitungkan namanya saat dua kutub anak dusun itu telah kembali mudik ketanah Merangin? Jangan optimis dulu, jangan kira sarjana-sarjana muda penuh talenta, dengan kegemilangan prestasi akademik dan kemurnian karya ilmiahnya adalah bibit-bibit unggul yang akan dipandang di tanah kelahirannya itu. Tidak! Bukan! Bukan mereka.
            Mereka pulang dengan sertifikat cumlaude-nya, yang sekarang hanya menjadi hiasan di dinding rumah sederhanya, bukan tawaran posisi empuk dikalangan pemerintahan daerah Merangin yang ia dengar. Tapi apa? Justru nominal gundukan uang yang harus mereka siapkan jika mereka hendak masuk kedalam jajaran istana Pegawai Negeri Sipil di tanah kelahirannya. Biadab! Hal ini dilakukan para calo-calo serigala Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gila uang itu.
            Uang! ya, alat tukar yang diciptakan sendiri oleh manusia itu kini benar-benar telah naik derajat menjadi "dewa" bagi penciptanya sendiri. Semakin bertambah duyunan manusia yang memuja uang. sehingga norma-norma, kearifan, budi pekerti, hati nurani, dan kejujuran terlibas habis oleh rasa serakah, lalim, tamak, abisius matrealistis, dan iri dengki. Ya! dengan uang manusia berkekuatan, bukan hanya dalam kelas sosial yang tinggi ala kalangan birokrat saja yang saling berebut uang! bahkan hingga kelas tersempit dalam trah keluarga sekalipun. Uang yang menentukan kekuatan! Maka wajar jika karena uang, manusia syukur semakin punah, dan manusia kufur semakin menjamur. Begitulah kebanyakan orientasi para calo-calo itu.
            Mereka mayoritas adalah oknum-oknum hianat yang berasal dari dalam instansi-instansi pemerintahan, syaraf malu mereka sudah putus barangkali. Para calo itu umumnya adalah antek-antek yang pro dengan kepala daerah yang sedang menjabat. Sebuah pengakuan dari seorang sarjana hebat yang teguh pendirian saat ia dihampiri tawaran busuk itu menuturkan, angka yang dibandrol untuk bisa di-bookingkan dalam satu kursi calon PNS berkisar Rp 100 – Rp 160 juta-an, fantastis bukan? Bahkan konyolnya, para sengkuni tak takut neraka itu beroperasi bak jualan elektronik bergaransi, jika Surat Keputusan (SK) pengangkatan PNS gagal turun, maka uang akan kembali 80%. Puluhan juta dapat mereka lahab dengan rakusnya atas potongan biaya itu, dan akan lebih menggunung lagi Rupiah mereka, ketika calon yang mereka bookingkan bisa lolos menduduki kursi PNS.
            Sudah barang tentu para sarjana hebat yang tak ber-uang itu terpental jauh tak berdaya, mana punya orang tua mereka uang bejibun ratusan juta jumlahnya. Lalu, nasib mereka kini terdampar di rumah-rumah pendidikan dan beberapa kantor kecil sebagai honorer rendahan. Menurut pengakuan mereka, misalnya ketika mereka honorer di Sekolah Dasar, kisaran honorariumnya hanya dibawah Rp 500.000 saja, dan berkisaran Rp 700.000 ketika mereka honorer disuatu dinas pemerintahan. Nominal sekian itu hanya habis untuk mengisi bahan bakar kendaraannya saja, karena biasanya jarak antara kantor dan tempat tinggal mereka lebih dari 20km. Gila Bukan!
            Nepotisme juga begitu kental masih marak di Merangin, siapa saja yang dekat atau sebagai kerabat pemimpin Merangin yang sedang menjabat sangat berperan dalam memuluskan jalan menuju kursi PNS. Pastilah mereka diutamakan dibandingkan para pelamar lain yang tak berlatar belakang punya kedekatan dengan petinggi. Seleksi administrativ yang mampu melihat kualitas akademis seseorang secara berimbang sering kali dijadikan formalitas belaka. Ya, begitulah regulasi yang masih berjalan di Merangin. Memalukan!
            Seorang rekan seperjuangan mengisahkan, dia merupakan Sarjana Hukum dengan predikat cumlaude yang hingga kini masih harus menerima kekalahan atas kezoliman sarjana-sarjana abal-abal itu, hanya karena dia melarat! Setiap dibuka penerimaan calon pegawai negeri sipil, barangkali dia termasuk dalam urutan awal sebagai pendaftarnya. Namun tetap saja, karena tak punya koneksi dengan orang-orang didalam istana dinas-dinas itu dan kempesnya isi kantongnya, tak kunjung ia dapatkan pekerjaan itu hingga kini. Sekarang hanya semangat juang yang masih selalu ia pelihara agar tetap melekat dalam dirinya, yang membuatnya teguh pendirian, tak goyah menjadi intelektual yang hianat. Menjadi honorer dengan bayaran ala kadranya dibeberapa kantor advokasi dan memberikan privat-privat rumahan dengan honor seihlasnya, tekun ia lakukan untuk bertahan hidup. Namun ia tetap bangga, setidaknya ia tetap bisa mengamalkan ilmunya, dengan bingkai sertifikat cumlaude yang setia menghiasi dinding rumahnya.    
            Kondisi yang bertolak belakang terjadi dilain tempat, sorak sorai terdengar disana diperuntukkan sebagai sambutan bagi para anak-anak dusun yang tikus-tikus kampus tadi! Mereka pulang ke Merangin dengan sambutan bangga palsu dari keluarganya, keluarga para konglomerat tak berhati nurani. Para pemalas itu melangkah ringan, bak setengah terbang kea wan. Karena semerta-merta pintu kantor dinas-dinas di kabupaten Merangin seolah melambai-lambai mengayunkan tangan ajakannya untuk masuk ke dalam istana PNS di jajarannya. Dengan apa? Dengan telah terisinya kursi-kursi empuk PNS itu oleh bongkahan-bongkahan emas, dan lembaran-lembaran uang sogokan yang menjijikan melalui para sengkuni dan calo PNS itu!
            Sebut saja si Fulan (bukan nama sebenarnya), Fulan merupakan mahasiswa Tehnik Mesin di sebuah Universitas swasta di Jogja terdaftar sejak angkatan 2001. Memang, dia anak manja yang selalu mendapatkan transferan tebal dari orangtuanya di Merangin. Namun hebatnya, dia bisa saja tetap selalu bersandiwara terhadap orangtuanya, seolah dia nelangsa hidup di Jogja, sehingga belas kasih dari orangtuanya dan nama baiknya tetap terus terjaga baik. Namun tragisnya, perkuliahannya tak pernah ia jadikan hal serius untuk selalu dikerjakan, dia hanya sibuk dengan gadget-gadget nya dan wara-wiri antar jemput dan mengurusi kekasih barunya.
            Begitulah keseharian si Fulan, hingga waktu terus dan terus berlalu, skripsinya tak kunjung selesai. Bagaimana mau bisa selesai, saat sedikit kesulitan menemui dosen pembimbing saja dia sudah langsung menyerah dan membiarkan dirinya semakin terjangkit rasa malas. Tapi dasar Fulan si pembual, tetap saja orangtuanya di kampung bisa dia kelabui, susahnya dosen pembimbing dia jadikan alibi untuk tetap membuatnya baik dimata orantuanya. Justru pada tahun ke-tujuh dia minta dinikahkan dengan kekasihnya. Dengan statusnya yang masih mahasiswa pengangguran tanpa karir sama sekali. Kisah studi Fulan berujung pada tahun ke-sembilan studinya di Universitas itu, bisa ditebaklah bagimana jalannya? Karena malu orangtuanya saking lama anak bujangnya kuliah tak kunjung wisuda, maka makelar skripsi gadungan jadi penolongnya. Bisa memang dia wisuda, namun dengan karya palsu dan nilai IPK ala kadarnya. Keterlaluan!
            Nasib Fulan bisa tetap hidup enak, dengan istri cantik dipelukannya, dia pulang ke Merangin. Di tanah kelahiranya itu, orangtuanya sudah menyiapkan ratusan juta untuk dibayarkan kepada calo-calo PNS. Maklumlah, orangtuanya paham betul, kemampuan anak bujangnya ini sebenarnya tak istimewa, pesimis mereka jika anaknya bisa berjuang mandiri meraih kesuksesan karis dan kemapanan hidup. Mulus saja jalan Fulan, kini dia duduk manis dikursi suatu instansi pemerintahan dengan gaji jutaan rupiah. Tapilah pasti sudah dapat ditebak bagaimana sumbang sih si Fulan dalam profesionalitas kerjanya, rasanya nol besar itu jawabannya.      
            Begitulah sepenggal cerita bagi mereka sarjana abal-abal tapi kaya. Dengan santai tanpa rintangan, memasuki setiap kantor-kantor itu dan meraup kemudahan disepanjang hidupnya. Tapi sudah barang tentu, didalam kantor-kantor mewah itu, hanya hura-hura tak berarti pula-lah yang bisa sarjana-sarjana dusun zolim itu lakukan! Sarjana-sarjana abal-abal ini digaji sesuai standar gaji PNS dari pemerintah, untuk lulusan Strata 1 (S1) langsung melesat digolongan III. Mengacu pada Peraturan pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 dengan Perubahan Kesebelas atas PP Nomor 7 tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji PNS yang diterbitkan awal Januari 2009, PNS Golongan IIIa dengan masa kerja 0 tahun, gaji pokoknya mencapai Rp 2.046.100. Bandingkan dengan para sarjana miskin honorer tadi, ironis sekali!
            Kezoliman terhadap sarjana miskin masih saja terjadi, bahkan baru-baru ini dengan cara yang lebih mutahir dan tak kalah gila-nya dari sekedar uang sogokkan. Pada saat seleksi tes tertulis, ada yang menggunakan jasa cukong pengganti. Cukong pengganti ini beroperasi dengan cara dirinya mewakili orang yang membayarnya untuk melaksanakan tes tertulis. Semua kartu tanda pengenal dibekalkan kepadanya, tanda tangan pun dengan mudahnya dipalsukan. Cukong-cukong ini adalah orang yang biasanya juga sebagai panitia tes, atau paling tidak tim yang terlibat, sehingga sudah mahir dan faham seluk beluk soal tes yang diujikan. Yang ini memang tarifnya lebih miring, berkisar sepuluh jutaan. Karena cukong ini tidak memiliki jaminan sampai diterima sebagai PNS. Walaupun demikian, toh tetap saja banyak sarjana abal-abal yang malas itu setia menggunakan jasa cukong-cukong itu.
            Profesionalisme bidang pekerjaan ahirnya menjadi satu hal yang pertama kali ternodai dalam kinerja para PNS abal-abal itu. Dalam dunia pendidikan misalnya, seorang sarjana jurusan kimia, karena asal bisa masuk jadi PNS, dia mengisi kursi mengajar bidang studi sejarah. Aneh bukan?! Alih-alih dapat mengajarkan materi dengan baik, transfer ilmu tercapai kepada para muridnya, dia sendiri sekalipun mungkin tak mampu mengerjakan soal dalam buku pelajarnnya. Pastilah hal itu terjadi, karena memang bukan pada bidangnya. Sehingga tumbalnya pastilah kualitas ilmu para anak didiknya. Generasi penerus bangsa ini!   
            Lalu dari manakah kepemimpinan daerah Merangin dapat berjaya? Jika para pekerja sipilnya adalah birokrat-birokrat picik yang sarat korup. Pengembanan tugas Negara hanya dijadikan simbiosis cari untung dan pengembalian modal sogokan mereka saja. Kepentingan rakyat kecil pastilah tak pernah tersentuh dijadikan prioritas program kerja, barangkali hanya terkumandang saat musim kampanye pencalonan pemimpin saja kepentingan rakyat disuarakan. Faktanya, semua tinggal janji-jani palsu saja, tak ada perbaikan signifikan terhadap kesejahteraan hidup rakyat kecil. Apalagi mereka yang tinggal di pelosok-pelosok dusun, jalanan licin dan taburan debu selalu bergantian datang menjadi teman setia kehidupan mereka.
            Jadi, begitulah di Merangin, Sarjana cumlaude yang melarat tak laku jadi PNS. Regulasi kotor terus tumbuh subur dalam proses recruitment pegawai negeri sipil disana. Kolusi dan nepotisme menjadi duo mujarap sebagai amunisi agar bisa lolos menjadi PNS. Cara-cara lain-pun di-create seolah ala lomba kreatifitas karya cipta saja. Jurang-jurang perbedaan dan ketimpangan semakin curam. Sehingga kegilaan manusia akan uang, menjadikan uang sebagai media sekaligus orientasi tujuan dalam kancah regulasi birokrasi di daerah itu.
            Maka, relakah jika para tikus-tikus kampus itu, sarjana abal-abal itu, dan para antek-antek birokrat berleha-leha menikmati hasil kezolimannya?! Coba lihatlah, jerih payah dan peluh semangat anak dusun melarat itu, mereka hidup dalam keterbatasan dengan berbalut kemuliaan atas kemurnian intelektualnya. Mereka tetap menjadi pelayan setia atas nestapa kemelaratannya. Syaraf-syaraf pemikiran progresifnya tetap menyala seiring dengan terpaan-terpaan kenistaan para konglomerat yang diskriminatif yang justru membuatnya semakin tegar.
            Sudah pasti, kondisi sebobrok ini tidak akan bisa membaik, berputar seratus delapan puluh derajat menjadi sehat jika hanya dengan berdiam dan berharap semata! Dibutuhkan sebuah pembangunan kesadaran dan kesepemahaman pola fikir secara kolektif sehingga perang terhadap aksi sogok, kolusi, dan nepotisme bisa digerakkan. Perlunya menciptakan pemimpin yang bersih, dengan pondasi ke-Tuhanan yang kokoh serta bernilai kearifan harus dijadikan agenda mendesak di Merangin. Sehingga akan terlahir regulasi yang transparan, adil, dan berbobot terutama dalam hal recruitment professional-profesional yang akan mengemban tugas Negara dalam membangun Merangin.
            Sepertinya harapan itu terlihat memiliki tingkat mustahil yang tinggi, namun jika jerih payah dan pengorbanan terhadap perlawanan demi perubahan ini digencarkan dengan serentak, maka akan menjadi sangat mungkin bisa mencapai titik keberhasilannya. Sehingga pentingnya persatuan intelektual sejati yang terbina dengan kokoh dan pergerakan menyerukan perlawanan demi pembenaran dicanangkan secara massa dan progresif. Pendidikan sebagai dasar pondasi tertanamnya ilmu dan kaidah-kaidah kebenaran selayaknya harus diperkuat tanpa tebang pilih terhadap perbedaan latar belakang. So, education is for all!  




[1] Culture shock atau yang sering disebut sebagai gegar budaya merupakan suatu kondisi guncangan budaya terhadap seseorang sebagai akibat dari ketidak sesuaian unsur-unsur kebiasaan hidup dari tempat lama ditempat yang baru, sehingga menimbulkan pola-pola ketidak serasian sosial dalam suatu lingkungan.
[2] Dodos adalah istilah yang sering dipakai sebagai julukan para buruh pemanen kelapa sawit. 

No comments:

Post a Comment