Monday, June 10, 2013

Indonesia dalam Dualisme Foreign Direct Investment (FDI)



Indonesia dalam Dualisme Foreign Direct Investment (FDI)

ABSTRACT
The economical growth especially in the developed country like Indonesia mostly used the Foreign Direct Investment (FDI) as important formula to drive it as well. This essay tries to describe that there is have “two coin side” of FDI impact inside the economical growth of developed country. Since the FDI not only bring their investment but also their expansion, that’s why the FDI born the impact of dualism condition and also depended situation as bad impact of developed country.   
 

KEY WORD
Foreign Direct Investment (FDI)

 

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang hingga kini masih menyandang status negara berkembang, menuntut republik ini harus terus berupaya memperkuat sendi-sendi kehidupanya dalam segala aspek, terutama dalam keberlangsungan roda perekonomiannya. Era modernisasi yang telah menyebar akut keseluruh penjuru dunia, membawa Indonesia ikut terjangkit dalam lingkup pergulatan terus menyebarnya pion-pion kapitalisme yang kian menguasai dunia.

Ketersediaan sumber alam pertiwi yang belum tereksplorasi dengan baik, sebagai akibat dari masih minimnya tegnologi dan kualitas sumber daya manusia yang belum mumpuni, mendorong pemerintah luluh dengan pilihan menggunakan Foreign Direct Investment (FDI) sebagai mesin penggerak yang mampu menghidupkan laju perekonomian dan menghasilkan pundi-pundi Rupiah bagi keuangan negara. Sepak terjang FDI di Indonesia melaju mulus menguasai setiap sektor di mana mereka bergerak, sehingga dominannya peran FDI justru mulai menuai kondisi yang ambigu bagi negeri ini.
            Melalui media FDI harapan pertumbuhan perekonomian pertiwi disandandarkan, namun FDI sendiri menapakkan kakinya di Indonesia bukan hanya berbekal investasi murni namun juga dibarengi dengan ekspansinya. Berlatar pada ketidaksiapan regulasi dalam negeri, kontrol transparansi yang tidak akuntable, membawa dampak dualisme bagi masyarakat atas peranan FDI bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Disatu sisi FDI mampu menggerakkan mesin perekonomian yang kondusif sebagai good impact, namun di sisi lain membawa kesenjangan-kesenjangan korporasi domestik, munculnya kondisi depensi (ketergantungan) serta kerusakan biota alam jangka panjang sebagai bad impact nya.

FDI SEBAGAI GOOD IMPACT
Foreign Direct Investment (FDI) atau dikenal juga dengan sebutan Penanaman Modal Asing langsung (PMA) menjadi sebuah komponen utama mesin penggerak laju perekonomian di negara-negara berkembang. Sama halnya dengan Indonesia, FDI mengalami masa kejayaanya yang dimulai sejak periode kekuasaan Orde Baru. FDI dengan power-nya berupa kekuatan modal, kecanggihan tegnologi dan luasnya market link yang telah tersedia, menjadikannya mulus melaju dalam setiap pertumbuhan perekonomian negara berkembang seperti Indonesia. Sejarah kejayaan FDI tercatat pada era Orde Baru yang tampak sangat nyata, dengan tumbuhnya laju perekonomian nasional dengan prosentasi fantastis dalam kurun waktu satu dasawarsa saja.
Landasan dasar FDI di Indonesia pertama kali tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dalam salah satu poin yang menjadi pertimbangan pemerintah yakni ketersediaan kekayaan alam yang belum tereksplorasi dengan baik, atas akibat dari minimnya kepemilikan modal pemerintah, pengalaman yang mumpuni, serta kemajuan tegnologi yang canggih. Yang kemudian undang-undang ini disempurnakan dalam PP No. 20/1994 dan Undang-Undang Penanaman Modal No.25/2007. Oleh karenanya, peranan FDI dirasakan sangat perlu untuk didatangkan.
Secara definitif FDI disebutkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal No.25/2007 yakni merupakan “kegiatan penanaman modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”[1]. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa FDI atau PMA adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan / atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh kepemilikan modalnya dimiliki oleh pihak asing.
OECD (1996) menuliskan definisi FDI yang oleh Robert E Lipsey diungkapkan dalam esainya bahwa “Foreign direct investment reflects the objective of obtaining a lasting interest by a resident entity in one country (“direct investor”) in an entity resident in an economy other than that of the investor (“direct investment enterprise”). The lasting interest implies the existence of a long-term relationship between the direct investor and the enterprise and a significant degree of influence on the management of the enterprise” (OECD, 1996, pp. 7-8).[2]
Kiprah FDI di Indonesia mulai memperlihatkan manfaat-manfaatnya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu tahun 2000-2010 angka prosentase peranan FDI terhadap total investasi nasional menjadi dominan, sekitar 63% dan terus melonjak naik sampai diangka 71% nilai sumbangan investasi dari sumber FDI. Maka jelas sekali FDI tidak lagi menjadi komponen komplementer melainkan sudah menjadi komponen utama pertumbuhan investasi nasional. Angka fantastis seperti itulah yang menjadi alat ukur keberhasilan peranan FDI di Indonesia.
Sebagai wujud good impact FDI, laju pertumbuhan ekonomi yang gemilang dengan rata-rata sekitar 7,5 % pernah tercapai, angka pertumbuhan yang relatif tinggi ini didukung oleh berbagai faktor yang memicu kepercayaan FDI berdatangan ke Indonesia, meliputi antara lain:
(a) dukungan kebijakan deregulasi perdagangan dan investasi,
(b) iklim usaha yang kondusif untuk mempercepat laju kenaikkan investasi dan juga
(c) adanya kepercayaan dunia internasional pada para pelaku ekonomi domestik
dalam melakukan berbagai bentuk kerjasama usaha patungan[3], begitulah menurut analisa Rowland B.F Pasaribu.
Secara faktual indikator-indikator keberhasilan pemerintah dalam menarik para investor asing, memang tampak sejak masa Orde Baru, stabilitas nasional yang terjaga dengan baik, tingkat pengangguran yang rendah, sektor industri primer yang terkelola dengan baik, dan angka pendapatan per kapita dalam jumlah membahagiakan menjadikan kedatangan FDI sebagai dewa penolong yang recommended bagi pembangunan nasional. Dampak terhadap devisa secara langsung mengalami peningkatan yang signifikan, sebagai manfaat dari berjalannya roda-roda perekonomian dengan baik.
Penyerapan tenaga kerja menjadi poin penting yang kentara atas keberadaan FDI, karena pada umumnya FDI bekerja dengan Multi National Corporations (MNCs)[4] nya yang menjalankan proses produksi secara masal, sehingga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar pula. Sebagai bagian gurita good impact dari FDI juga dapat terlihat dari adanya transfer tegnologi, para pekerja dari kalangan terdidik-pun dapat menimba pengalaman praktis di korporasi-korporasi asing, sehingga tidak jarang mereka dapat beralih menjadi enterpreneure mandiri yang mapan dalam ruang linkup domestik.
Stimulan-stimulan komposisi keterlibatan anak negeri dalam korporasi asing tampak pada PT. Freeport Indonesia yang kegiatan eksplorasinya di Papua menyerap tenaga kerja yang mayoritas tenaga kerja lokal, Vice President CSR PT. Freeport Indonesia (PTFI) mengutarakan dari total jumlah 24000-an pekerja PTFI komposisinya 28,34% orang asli Papua, 69,58% pekerja dari seluruh penjuru tanah air, dan hanya 2,08% yang berasal dari ekspatriat.[5] Angka-angka yang tidak bisa dipungkiri memberikan porsi yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja lokal.
Harmonisasi kolaborasi antara FDI sebagai korporasi raksasa asing dengan kalangan pengusaha dalam negeri juga dapat terjadi. Pengusaha lokal berperan sebagai supplier material / komponen pembantu produksi yang dapat menimbulkan simbiosis yang prospektif dalam lingkup kewirausahaan nasional. Pebisnis lokal terpacu meningkatkan kualitas yang mengarah kepada level-level eksport, sehingga perlombaan kompetensi para pekerjapun terdorong semakin meningkat. Dalam hal ini FDI berperan aktif dalam penentuan standarisasi komponen-komponen yang diperlukan, yang menjadikan acuan kompetitif para pengusaha lokal. Contohnya MNC asal negeri sakura yang bergerak dibidang otomotif PT Astra Honda Motor (AHM) dalam sejarahnya dituliskan pengguritaan join-join bisnis, antara AHM dengan beberapa perusahaan dalam negeri. Produksi komponen-komponen sepeda motor Honda di sub-kan ke beberapa perusahaan lokal diantaranya PT Honda Federal (1974) yang memproduksi komponen-komponen dasar sepeda motor Honda seperti rangka, roda, knalpot dan sebagainya, PT Showa Manufacturing Indonesia (1979) yang khusus memproduksi peredam kejut, PT Honda Astra Engine Manufacturing (1984) yang memproduksi mesin sepeda motor serta PT Federal Izumi Mfg.(1990) yang khusus memproduksi piston.[6] 
Penyerapan tenaga kerja menunjukkan angka yang cukup signifikan yang terjadi pada MNC yang bergerak dibidang industri padat karya, contohnya industri kriya seperti furnitur. Di Yogyakarta misalnya, banyak perusahaan asing yang memproduksi furnitur untuk diekspor, sehingga dapat menyerap tenaga kerja lokal di sekitar wilayah pabrik-pabrik dengan jumlah yang cukup banyak. Dan mereka masih memiliki sub-kontraktor lokal untuk menyuplai produk-produk eksport tersebut.
Semakin marak dan menguatnya keberadaan FDI menuntut para pengusaha domestik untuk meningkatkan mutu hasil produksinya. Poin-poin standarisasi menjadi berkiblat kepada kejayaan hasil industri perusahaan asing, market produk-produk nasional dapat meluas ketika konsumen mulai tumbuh kepercayaannya terhadap produk-produk dalam negeri yang sudah mencapai kualitas baik. Ketika mayoritas pengusaha domestik telah dapat meningkatkan mutunya secara ajeg dan menyeluruh, maka hal ini dapat meningkatkan daya saing perusahaan lokal terhadap perusahaan asing.

FDI SEBAGAI BAD IMPACT
Senjata utama FDI yang berwujud MNC nyatanya memang sulit berkelit dari fokus motif ekspansinya. Nopirin menyebutkan ‘tujuan dan motif MNCs melakukan investasi langsung di luar negeri juga berdeda, ada yang bermaksud untuk melakukan ekspansi secara vertikal. Perusahaan induk (yang memproses lebih lanjut) mendirikan cabang di luar negeri untuk menghasilkan input untuk diproses lebih lanjut oleh perusahaan induk. Ada pula MNCs yang berekspansi secara horizontal dengan cara mendirikan cabang di luar negeri dengan melakukan kegiatan yang hampir sama dengan perusahaan induk.[7]
Celakanya, mayoritas FDI di Indonesia yang berwujud MNCs raksasa bergerak dibidang eksplorasi hasil alam, yang hasilnya di ekspor ke negara induk mereka (ekspansi vertikal). Sudah pasti, hal ini membawa dampak kepada semakin menipisnya cadangan sumber alam Indonesia. Lihat saja Cevron, Freeport, dan Exxon Mobile. Dalam sektor migas misalnya, para pelaku sektor migas nasional menilai cadangan minyak di bumi pertiwi kian menipis, bahkan disinyalir hanya mampu bertahan dalam kurun waktu 10 sampai 12 tahun mendatang. Ini bukti riil sebagai dampak jangka panjang (long term impact) yang ditimbulkan dari proses eksplorasi korporasi-korporasi terhadap sumber daya alam, sumber- sumber yang tidak bisa dilakukan peremajaan serta sustainability proses didalamnya.
Data dari Ditjen Migas pada pertengahan tahun lalu terbaca sangat menyedihkan ketika hampir 74% sumur-sumur minyak dan gas di Indonesia dikuasai oleh perusahan-perusahaan asing, jadi hanya sisanya saja yang dieksplorasi oleh Pertamina. Komplotan perusahaan FDI yang mengeksplorasi kekayaan migas, mayoritas memiliki kontrak jangka panjang yang mereka sesuaikan dengan perhitungan persediaan sumber yang akan mereka eksplorasi. Kontrak mereka didasarkan pada akurasi penelitian mereka terhadap jumlah ketersediaan sumber alam yang terdesia. Sehingga sederhananya saja, mereka akan mengahiri kontraknya pada saat sumber alam sudah habis. Habisnya sumber alam (natural resources) tentu saja merupakan wujud kerusakan alam krusial bagi Indonesia. [8]
Di Aceh misalnya, kegiatan eksplorasi gas alam cair oleh Exxon Mobil berakibat pada terjadinya tanah amblas seluas 33 hektar. Lahan milik warga di Lubuk Pusaka ini milik warga di empat dusun Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, di sekitar Cluster D1 SLS Pase Dusun Bidari. Contoh konkrit kerusakan alam yang ditimbulkan dari proses eksplorasi perusahaan asing.
Penistaan terhadap kebaikkan alam berlangsung terus menerus disetiap kegiatan MNCs, kerusakan habitat tidak dapat terhindarkan, merujuk pada artikel hasil laporan ekslusif Jane Prleze dan Raymond Bonner terhadap dampak pencemaran dari eksplorasi tambang Freeport di Papua “Down below, nearly 90 square miles of wetlands, once one of the richest freshwater habitats in the world, are virtually buried in mine waste, called tailings, with levels of copper and sediment so high that almost all fish have disappeared, according to environment ministry documents”[9]. Mereka menambahkan limbah tailing Freeport juga telah mencemari taman nasional Lorentz, yang notabene telah mendapatkan pengakuan status spesial dari PBB. Sudah pasti ini merupakan kerugian fatal bagi lingkungan hidup di Papua, dan membutuhkan waktu panjang dan biaya besar untuk recovery nya.
Lalu bagaimana taring pemerintah mampu berdaya dalam menjegah tindakan Freeport diatas, masih menurut  Jane Prleze dan Raymond Bonner, yang ada hanya sebuah keprustasian semata, mereka menuliskan “At one point last year, a ministry scientist wrote that the mine's production was so huge, and regulatory tools so weak, that it was like "painting on clouds" to persuade Freeport to comply with the ministry's requests to reduce environmental damage”[10]. Ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan efek kontrol terhadap kegiatan sebuah MNC seperti inilah yang menjadikan keberadaan FDI menjadi sebuh ironi di Indonesia.
            Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam laporan resminya yang berjudul Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua (2006) menuliskan poin-poin pelanggaran Freeport terhadap lingkungan dan alam di Papua sebagai berikut:
• Telah lalai dalam pengelolaan limbah batuan, bertanggung jawab atas longsor berulang
pada limbah batuan Danau Wanagon yang berujung pada kecelakaan fatal dan keluarnya
limbah beracun yang tak terkendali (2000).
• Hendaknya membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai standar teknis legal untuk bendungan, bukan yang sesuai dengan sistem sekarang yang menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat (2001).
• Mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing. Perusahaan diminta untuk membangun pipa tailing ke dataran rendah (2001, 2006).
• Mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, dengan demikian melanggar standar baku mutu air (2004, 2006).
• Membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah
berbahaya, sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, dan gagal
membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan (2006)[11].
            Realita ironi yang tengah dialami negeri ini yang dahulu sering dielu-elukan sebagai negara kaya sumber alam dilintasan katulistiwa, pada nyatanya ketika sebuah kebijakan elit-elit pengampu kekuasaan yang belum matang justru mengakibatkan pertiwi ini kian miskin saja. Seharusnya pemerintah dapat berperan aktiv dalam menjalankan kontrol terhadap FDI dan pergerakannya bersama MNCs-nya dengan peraturan yang jelas dan tegas.
            Dibelahan bumi Indonesia bagian tengah juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tanah Papua. Adalah PT Newmont Minahasa Raya (PTNMR) sebagai sebuah MNC dari FDI yang menancapkan cakarnya dengan bergerak dibidang pertambangan. di provinsi Sulawesi Utara PTNMR dalam kegiatan eksplorasinya berujung pada menyeruaknya permasalahan pencemaran terhadap teluk Buyat. Berbagai penyakit diderita masyarakat sekitar area pertambangan, rusaknya ekosistem dan ekologi teluk Buyat menuai protes dari berbagai pihak. Puncaknya adalah gugatan WALHI terhadap PTNMR atas pencemaran lingkungan tersebut. Artikel WALHI yang berjudul “Mendulang akibat, menyamarkan sebab” 2010 lalu menuliskan, Pengamatan Walhi Sulut juga menemukan temuan serupa. Harmin Modeong, mantan karyawan PTNMR, sejak tahun 2000 menderita sakit di jantungnya, sampai saat ini, kakinya sudah membengkak dan tak bisa digerakkan maksimal. Tubuhnya kini mengalami tremor, kaki dan tangan kanan gemetar. Istrinya, Yatin Gonibala juga mengalami benjolan di bagian leher yang dikatakan dokter sebagai gondok dan lipoma[12].
            Memang kini PTNMR telah ditutup, namun gugatan hukum terhadap Richard M Ness dan PT NMR ternyata kandas dimeja hukum. Gugatan yang berahir pada tanggal 16 Februari 2006 dengan diselimuti oleh dirilisnya “goodwill agreement” yang ditandatangani oleh pemerintah dan PTNMR. Goodwill agreement berisi kesepakatan niat baik PTNMR atas yang diantaranya menyepakati dana perbaikan lingkungan, pemantauan lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat hingga 2016[13]. Namun ternyata realita yang terjadi di Buyat tidak seperti apa yang PTNMR goreskan dalam bualan goodwill agreement-nya, ekosistim Buyat hingga kini tetap rapuh, berbagai habitat air punah, dan masih banyak masyarakat Minahasa Utara yang menderita penyakit akibat tercemarnya teluk Buyat oleh limbah tailing PTNMR itu.
            Begitulah pada kenyataanya kiprah FDI di Indonesia membawa dampak negatif yang krusial terhadap kelestarian alam sebagai akibat dari pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistim, dan semakin menipisnya sumber kekayaan alam yang ditimbulkan dari kegiatan eksplorasi MNCs. Minimnya kesadaran dalam upaya-upaya penciptaan tegnologi daur ulang terhadap limbah-limbah eksplorasi dan sistem peremajaan kelestarian alam menambah deretan penderiataan bumi pertiwi. Sementara pihak asing pemilik modal semakin meraup banyak keuntungan dari FDI-nya di Indonesia.
            Pemahaman akan terstimulusnya kemajuan bagi Indonesia terhadap kedatangan FDI juga tidak sepenuhnya benar, lihat saja negara ini yang tetap dalam status negara phery-phery (pinggiran) terhadap penetrasi kekuasaan negara-negara asing pemegang modal. Hal ini merupakan fenomena terhadap mayoritas FDI dibanyak negara berkembang. Seperti halnya yang Hirst dan Thomson sebutkan bahwa lalu lintas modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Sebaliknya, penanaman modal asing (FDI: Foreign Direct Investment) justru banyak terpusat di negara-negara industri maju, sedangkan Dunia Ketiga–—kecuali segetintir negara industri baru— tetap memempati posisi pinggiran, baik dari sisi investasi maupun perdagangan.[14]
Cengkraman FDI di Indonesia juga melahirkan suatu kondisi dependensif yang cukup akut. Hubungan yang ketergantungan (dependencia) terhadap aturan-aturan main yang diciptakan FDI sebagai aktor penggerak utama roda-roda perekonomian kian nyata dan berlangsung terus-menerus. Seolah Indonesia dibuat bertekuk lutut terhadap dominasi FDI dalam pusaran mesin perekonomian dalam negeri. Di Freeport misalnya, setiap kali hendak diadakan proses renegosiasi kontrak karya yang memungkinkan posisi bergaining Indonesia meningkat untuk mengurangi intervensi MNC raksasa AS itu, seperti yang terahir pada September 2012 lalu secara spontan menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton meluncur mengunjungi Indonesia. Alibinya memang tidak membahas Freeport melainkan isu-isu global yang lain, namun nyatanya kontrak karya PT. Freeport Indonesia mulus melenggang diperpanjang hingga tahun 2041, karena Freeport Mac Moran memang merupakan perusahaan penting AS dengan ’status quo”-nya, dan pemerintah AS memiliki kepentingan nasional yang tinggi untuk mempertahankan status tersebut.
Memang pada dasarnya secara teoritis, Teori Ketergantungan lahir dari kondisi pembangunan di negara dunia ketiga. Andre Gunder Frank , yang oleh Arief Budiman dalam bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga dikategorikan kedalam Teori Ketergantungan Klasik. Frank pada intinya menyebutkan Teori Dependensia merupakan sebuah pembangunan keterbelakangan, dalam bukunya yang sangat berpengaruh, Capitalism and Underdevelopment in Latin America, Frank mengatakan: “Saya percaya, bersama Paul Baran, bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan dimasa lalu dan yang terus mengembangkan keterbelakngan dimasa sekarang”.[15]
Konseptualisasi diatas memperkuat bahwa memang sejatinya tidak pernah ada simbiosis yang secara berkelanjutan memberikan positifisme terhadap Indonesia atas keberadaan FDI. Permasalahan yang kompleks justru kian muncul kepermukaan, tidak hanya terjadi pada sendi-sendi perkonomian, tatapi juga stabilitas politik dan sosial di dalam negeri. Kesenjangan sosial yang terjadi antara si kaya dan si miskin terus meningkat, sebagai efek dari dualisme antara kelompok-kelompok yang mendapat manfaat FDI dengan kelompok lain jauh dari jangkauan kebaikan-kebaikan FDI.
Aroma ketergantungan yang berkepanjangan kian tercium dalam industri produkstif yang mengarah pada sektor agraris di negeri ini, potensi natural agraris Indonesia justru mengalami kemerosotan ketika semakin menguatnya MNCs yang lebih bergairah bergulat dengan industri otomotif maupun elektronik. Jejaring simbiosis terhadap sektor agraris tidak terjalin dengan harmonis, jutru sebaliknya potensi agraris tidak terolah dengan baik. Hal ini yang menunjukkan ketidak sesuaian pola perkembangan industri nasional, dikarenakan MNCs padat modal dan minim permintaan terhadap hasil industri agraris. Ketika industri agraris yang padat karya kian mandeg, maka yang timbul adalah semakin membengkaknya jumlah pengangguran dan bergantungnya tenaga kerja terhadap MNC raksasa dengan peranan sebagai buruh bawahan semata.
Mochtar Mas,oed (1990) menyimpulkan bahwa inti dari teori dependensia bisa diringkas sebagai berikut: Penetrasi asing dan ketergantungan eksternal menyebabkan timbulnya distorsi besar-besaran dalam struktur ekonomi “pinggiran” (periphery), yang pada gilirannya menimbulkan konflik sosial yang gawat dan akhirnya mendorong timbulnya penindasan negara terhadap rakyat dimasyarakat yang tergantung itu.[16] Ketika suatu negara telah berada dalam titik tersebut, maka yang kemudian yang terbentuk adalah kecanggungan pengampu kekuasaan terhadap rakyatnya dalam hal mengutamakan kepentingan-kepentingan dasar rakyat. Pemerintahan yang sedang berlangsung lebih ramah kepada kepentingan-kepentingan asing, yang masih menyimpan sisi terselubung kepentingan penetratif-nya.
Alih-alih secara utuh kian menjadi negara yang sudah mapan dalam perekonomiannya, lebih jauh lagi pemerintah justru dibebani PR atas kompleksitas kesenjangan-kesenjangan yang terjadi di masyarakat, sebagai akibat dari hubungan distorsif antar kelompok-kelompok yang diuntungkan versus kelompok-kelompok yang dirugikan oleh keberadaan MNCs. Ketika kelompok yang dirugikan kian tertindas, maka arogansi-arogansi perlawanan dilakukan oleh mereka. Keamanan menjadi terganggu, konflik-konflik internal diruang lingkup masyarakat justru timbul, menjadikan permusuhan sesama etnis penduduk lokal di sekitar perusahaan asing berdiri. Inilah yang menandai menjalarnya bad impact FDI kepada ruang lingkup lain.  
Pada hakekatnya MNCs yang beroperasi disebuah negara wajib memiliki sendi-sendi norma dalam kegiatan bisnisnya, hak-hak ulayat komunitas lokal, nilai-nilai Corporate Social Responsibility selayaknya benar-benar dijalankan oleh mereka. Seperti yang diutarakan oleh Sergio Cobo bahwa ”We cannot be too idealistic in what we press for, but these companies should be providing at least a minimum of basic human rights in the workplace. The obligation of the companies should include respect for the dignity of the person and acknowledgment of their social, economic and cultural rights. That means, at the very least, dignified treatment, safe conditions, social security coverage and some contractual stability.” [17]Namun faktanya, terlalu tampak dipermukaan ketidak seimbangan tanggungjawab sosial dalam kegiatan FDI terhadap masyarakat di Indonesia.
Seperti halnya yang dikatakan Mohtar Mas’oed, ketika pemerintah Indonesia sudah sampai kepada fase penindasan terhadap masyarakatnya sendiri, pada saat itulah sebuah distorsi yang kronis atas sebuah hubungan perlindungan negara terhadap rakyatnya. Penetrasi-penetrasi asing lebih memiliki daya dalam mengendalikan kebijakan-kebijakan dalam negeri. Saat kelompok-kelompok minoritas yang dirugikan atas sebuah kegiatan MNCs melakukan pemberontakan, alih-alih mendapatkan dukungan dari pemerintah supaya tuntutan mereka terhadap MNC terealisasi dan terjembatani, justu kekuatan personil militer nasional yang diajukan untuk berhadapan dengan mereka, yang notabene seyogyanya menjadi pelindung dan pengayom rakyat. Pada ahirnya aroma pelanggaran HAM pun menyeruak kepermukaan.
FDI yang berdampak pada pelanggaran HAM tampak jelas terjadi di Papua, Sejak awal kedatangannya pada tahun 1970an Freeport yang area eksplorasinya masih diduduki suku asli Amungme diusir secara paksa. Pengamanan yang ketat juga dilakukan oleh perusahaan tambang ini, tidak jarang masyarakat lokal menjadi korbannya. Freeport melakukan mekanisme pengamanan di daerah pertambangannya. Beberapa di antaranya dilakukan dengan membangun fasilitas dan infrastruktur militer serta pembentukan badan-badan khusus. PT. Freeport Indonesia pun telah membentuk suatu badan khusus, yakni Emergency Planning Operation (Perencanaan Operasi Darurat) untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia. Di mana dalam badan tersebut, ada seorang bekas agen CIA, atase militer di Kedubes Amerika yang berada di Jakarta serta dua orang mantan perwira militer Amerika.
Seperti halnya yang telah disadari oleh David Kinley dan Sarah Joseph; “Yet corporations, especially multinational corporations (MNCs), are very powerful entities in the current world order. Their impact on the wellbeing of communities and individuals, including in terms of human rights, is evident wherever they operate. While there is considerable scope for that impact to be positive, corporate activity is often perceived to have had, and has had, a detrimental impact on human rights”[18]. Power yang memang kental dimiliki korporasi asing, cenderung dapat menjadi alat kontrol baginya terhadap pemerintah untuk melindungi berjalannya kegiatan perusahaanya.
Gejolak pelanggaran HAM serupa juga terjadi akibat kelalaian korporasi asing, yakni penderitaan yang dialami masyarakat Minahasa Utara yang justru hanya merasakan getahnya saja akibat dari PT Newmont Minahasa Raya. Pembuangan tailing di teluk Buyat yang menyalahi prosedur dan tanpa proses netralisasi mengakibatkan masyarakat yang tinggal di sekitarnya menderita berbagai penyakit aneh, dan mereka terpaksa hidup ditengah lingkungan yang sudah tercemar. Maka sudah pasti peristiwa-peristiwa seperti ini melanggar UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia, seperti yang disebutkan dalam pasal 28 ayat (4) yang berbunyi; perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusiaadalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.[19]  Pada kasus Buyat ini, walaupun memang PTNMR telah ditutup, namun tampak sekali sepak terjang pemerintah yang seolah memberi ruang kompromistis kepada kepentingan korporasi dalam upaya penyelesaian permasalahan yang terjadi. Disisi lain, rakyat Minahasa Utara masih merintih menjalani penderitaan mereka.
Begitulah semakin menjalarnya akar konflik-konflik bad impact dari FDI yang hadir di tanah air ini, alam dan rakyat menjadi dua elemen yang seolah berupa barang jarahan bagi korporasi asing. Sedangkan watak pemimpin negara yang masih grogi dalam menentukan kebijakan pro-rakyat nya, mengakibatkan arus FDI berdatangan tanpa saringan yang rapat. Seperti halnya yang disebut oleh Adde M Wirasenjaya bahwa negara akan sibuk menjadi mitra kekuatan modal eksternal dan melayani segala tuntutan mereka untuk hadir berinvestasi.[20]
Dalam lanskap daya saing aktor-aktor pengusaha lokal, mendominannya FDI dalam kancah perekonomian nasional bersama MNCs-nya, memang menjadi rival persaingan bagi para pengusaha lokal. Jika mereka dapat dengan stabil meningkatkan mutu dan daya saingnya, memang akan menjadi poin plus, namun faktanya semakin banyak perusahaan-perusahaan domestik yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan perusahan asing. Para pekerjanya terpaksa dirumahkan, dengan begini angka pengangguran justru meningkat. Jika-pun mereka hendak menjadi pekerja di perusahaan asing, biasanya sudah harus dihadapkan pada standar penerimaan dan seleksi yang cukup ketat dan sulit.
Di Klaten Jawa Tengah misalnya, sebuah area persawahan yang melimpah persediaan airnya, perusahaan air minum lokal PT. Cokro Supertirta dengan produk Air Cokro nya berdiri di area tersebut sejak lama. Setelah kedatangan MNCs raksasa perusahaan air minum Danone dengan produk Aqua nya, perlahan tapi pasti disekitar wilayah berdirinya pabrik Aqua itu, sawah-sawah menjadi kekurangan sumber pengairan. Perusahaan air minum lokal semakin tertatih-tatih dalam pemasaran produknya. Konsumen lebih banyak membeli air minum kemasan yang ber merk Aqua. Upaya promosi air cokro yang hanya memasang beberapa papan nama dan baliho kecil di pinggiran jalan utama jogja-solo, tidak menarik perhatian konsumen untuk membeli air cokro. Timpang sekali dibandingkan dengan kekuatan modal Aqua yang beriklan di televisi dan berbagai media promosi besar lainnya. Ujung-ujungnya, perusahaan lokal kian terpuruk dan kalah saing terhadap FDI yang datang didaerah tersebut.

KESIMPULAN
Pergulatan tatanan ekonomi nasional untuk mencapai sebuah titik stabil dan mengarah pada kemakmuran rakyat memang masih harus terus menerus meniti jalan terjal untuk sampai kepada tahapan itu. Manuver-manuver kebijakan pemerintah yang hendaknya selalu berkiblat pada cita-cita bangsa, selayaknya selalu harus terjaga dengan baik. Pada kenyataanya sebagai negara berkembang, Indonesia memang masih memerlukan peranan investasi asing sebagai cara kilat untuk menginfus perekonomian nasional, penyerapan tenaga kerja, nilai investasi dan suntikan dividen kedalam kas negara. Adalah Foreign Direct Investment (FDI) yang kemudian di elu-elukan dan banyak dirayu oleh pemerintah kita agar berdatangan ke bumi zamrud khatulistiwa ini.
Tegnologi yang mumpuni, tenaga ahli yang berpengalaman, serta kemapanan modal adalah tiga komponen power FDI yang membuatnya mulus bertengger dipuncak pergulatan bisnis di Indonesia. Sifat FDI dengan MNCs nya yang mayoritas korporasi-korporasi vertikal raksasa dapat menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah yang besar. Transfer tegnologi, suntikan devisa negara dan kolaborasi keterlibatan pengusaha domestik terhadap MNCs menjadi poin yang diincar pemerintah. Sehingga pertumbuhan laju perekonomian nasional dapat terstimulus melaju dan meningkat sebagai good impact atas kedatangan FDI di Indonesia.
Dalam kiprah perjalannya, FDI yang berbentuk MNCs memang merupakan kaki tangan gurita kapitalis, saat menginjakkan kaki mereka ke tanah pertiwi mereka tidak murni dengan investasi jangka panjang-nya, akan tetapi juga bersama-sama dengan unsure ekspansi dan penetrasi-nya yang dengan capital power –nya dapat menjadi alat kontrol bagi arah kebijakan pemerintah Indonesia guna melindungi kepentingan korporasinya. Pada saat tiba di titik inilah, FDI di Indonesia melahirkan kondisi dualisme dalam tatanan kehidupan ekonomi dan menjalar kepada aspek-aspek lain seperti permasalahan kelestarian alam dan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada saat FDI telah merajai tampuk kekuasaan perekonomian nasional, pada saat itulah terciptanya kondisi ketergantungan pemerintah terhadap keberadaan FDI. Tanpa disadari, antek-antek kapitalis sedang menggerogoti kemakmuran rakyat, alam-pun dijadikan barang gadaian yang semakin lama tak kunjung dapat tertebus kembali. Keberlangsungan lestari kehidupan generasi mendatang sama sekali tidak terfikirkan. Yang semakin menggelembung adalah ketimbangan-ketimpangan dan ketidak merataan kesejahteraan sosial, yang sarat konflik.
Mengutip perkataan tokoh lingkungan hidup kita Prof.Dr Emil Salim, SE dalam tayangan Rumah Perubahan di TVRI awal Juni ini, bahwa seyogyanya alam Indonesia telah menyediakan sumber yang melimpah, jika kekuatan alam disatukan dengan sain dan tegnologi anak negeri yang mumpuni maka akan menjadikan negara ini sebagai negara yang besar. Maka PR utama kita adalah memperkualitas sumber daya manusia dalam negeri sehingga dapat mengolah alam pertiwi dengan bijak, meminimalisir kebergantungan dengan pihak asing, sehingga negeri ini dapat merdeka dengan seutuhnya. Semoga!.  

ENDNOTES


[1] Undang-Undang Penanaman Modal No.25/2007
[2] Robert E Lipsey, The Role of Foreign Direct Investment in International Capital Flows . National Bureau of Economic Research. 1999
[3] Rowland B.F Pasaribu, Investasi dan Penanaman Modal. 2013. hal.246, dalam http://rowlandpasaribu.files.wordpress.com
[4] “What is a Multi National Corporation? The definitions vary: some are broad (all firms – industrial; service, and financial-doing international bisiness of all types, within a myriad of organizational structure); others are much narrowers, based on size, extensiveness of operation in foreign and managerial orientation dalam David H.Blake dan Robert S.Walters. The Politics of Global Economic Relations.hal.76
[5] Eben Ezer Siadari, Lebih dari 6000 Karyawan Freeport Orang Papua, 2011, dalam www.jaringnews.com
[6] Tentang AHM, Sejarah, Mei 2013, dalam http://www.astra-honda.com/index.php/about
[7] Nopirin,Ph.d. Ekonomi Internasional. Edisi 3. 1992.hal.113. BPFE Yogyakarta
[9] Jane Prleze dan Raymond Bonner , Below Mountain of Wealth, a River of Waste. dalam www.nytimes.com diakses 23 Mei 2013
[10] ibid
[11] WALHI . Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua. 2006 dalam www.walhi.or.id diakses 22 Mei 2013
[12] WALHI, Mendulang sebab, menyamarkan akibat. 2010 dalam www.walhi.or.id diakses 22 Mei 2013
[13] Ibid
[14] Paul Hirst dan Grahame Thomson.Globalisasi Adalah Mitos.Yayasan Obor Indonesia.2001,hal 3-4
[15] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 65
[16] Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta : LP3ES, 1990, hal. 204
[17] CAFOD partner, Father Sergio Cobo, Mexico, CAFOD, The Rough Guide to Multinational Corporations
[18] Multinasional Corporations and human rights – questions about their relationships. Monash University . 2002
[19] UUD Pasal 28 ayat 4.
[20] Adde M Wirasenjaya, Negara, pasar dan Labirin Demokrasi, hal. 49 The Phinisi pers 2013

REFERENSI
Blake, David H dan Walters, Robert S. 1991. The Politics of Global Economic Relations. : Prentice Hall PTR

Budiman, Arief, 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Christi, Anna Suwardi. 2008. Dampak Perusahaan Multinasional terhadap Komunitas Lokal di Papua (Studi Kasus: Interaksi PT. Freeport Indonesia dengan Komunitas Lokal di Papua). Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY.

Hirts, Paul dan Thomson, Grahame. 2001. Globalisasi Adalah Mitos. Terjemahan P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kinley, David dan Joseph, Sarah. 2002 Multinasional Corporations and human rights questions about their relationships. (Online),dalam(http://www.altlj.org/publications/product) diakses 13 Mei 2013.

Lipsey, Robert E. 1999. The Role of Foreign Investment in International Capital Flows. National Bureau of Economic Research.dalam (http.//www.nber.org/papers/) diakses 16 April 2013

Mas’oed, Mohtar, 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.

Nopirin,1992. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta

Prleze, Jane dan Bonner, Raymond. 2005. Countain of Wealth, a River of Waste. (Online),dalam(http://www.nytimes.com/2005/12/27/international/asia/27gold.html?pagewanted=all&_r=0) diakses 23 Mei 2013.

Undang-Undang Dasar No. 25 Tahun 2007

Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1967

Wibowo, Wahyudi. 2013. We Should Gain More From FDI. (Online), dalam (http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/16/we-should-gain-more-fdi.html) diakses 24 Mei 2013

Wirasenjaya, Adde M (ed). 2013, Negara, pasar dan Labirin Demokrasi.Yogyakarta. The Phinisi Pres.








No comments:

Post a Comment