ABSTRACT
The economical growth especially in
the developed country like Indonesia
mostly used the Foreign Direct Investment (FDI) as important formula to drive
it as well. This essay tries to describe that there is have “two coin side” of
FDI impact inside the economical growth of developed country. Since the FDI not
only bring their investment but also their expansion, that’s why the FDI born the
impact of dualism condition and also depended situation as bad impact of
developed country.

KEY
WORD
Foreign
Direct Investment (FDI)
PENDAHULUAN
Ketersediaan
sumber alam pertiwi yang belum tereksplorasi dengan baik, sebagai akibat dari
masih minimnya tegnologi dan kualitas sumber daya manusia yang belum mumpuni,
mendorong pemerintah luluh dengan pilihan menggunakan Foreign Direct Investment (FDI) sebagai mesin penggerak yang mampu
menghidupkan laju perekonomian dan menghasilkan pundi-pundi Rupiah bagi
keuangan negara. Sepak terjang FDI di Indonesia melaju mulus menguasai setiap
sektor di mana mereka bergerak, sehingga dominannya peran FDI justru mulai
menuai kondisi yang ambigu bagi negeri ini.
Melalui
media FDI harapan pertumbuhan perekonomian pertiwi disandandarkan, namun FDI
sendiri menapakkan kakinya di Indonesia
bukan hanya berbekal investasi murni namun juga dibarengi dengan ekspansinya.
Berlatar pada ketidaksiapan regulasi dalam negeri, kontrol transparansi yang
tidak akuntable, membawa dampak dualisme bagi masyarakat atas peranan FDI bagi
pertumbuhan perekonomian Indonesia .
Disatu sisi FDI mampu menggerakkan mesin perekonomian yang kondusif sebagai good impact, namun di sisi lain membawa
kesenjangan-kesenjangan korporasi domestik, munculnya kondisi depensi
(ketergantungan) serta kerusakan biota alam jangka panjang sebagai bad impact nya.
FDI SEBAGAI
GOOD IMPACT
Foreign Direct Investment (FDI) atau
dikenal juga dengan sebutan Penanaman Modal Asing langsung (PMA) menjadi sebuah
komponen utama mesin penggerak laju perekonomian di negara-negara berkembang. Sama
halnya dengan Indonesia ,
FDI mengalami masa kejayaanya yang dimulai sejak periode kekuasaan Orde Baru.
FDI dengan power-nya berupa kekuatan
modal, kecanggihan tegnologi dan luasnya market
link yang telah tersedia, menjadikannya mulus melaju dalam setiap
pertumbuhan perekonomian negara berkembang seperti Indonesia . Sejarah kejayaan FDI tercatat
pada era Orde Baru yang tampak sangat nyata, dengan tumbuhnya laju perekonomian
nasional dengan prosentasi fantastis dalam kurun waktu satu dasawarsa saja.
Landasan
dasar FDI di Indonesia pertama kali tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing, dalam salah satu poin yang menjadi
pertimbangan pemerintah yakni ketersediaan kekayaan alam yang belum tereksplorasi
dengan baik, atas akibat dari minimnya kepemilikan modal pemerintah, pengalaman
yang mumpuni, serta kemajuan tegnologi yang canggih. Yang kemudian
undang-undang ini disempurnakan dalam PP No. 20/1994 dan Undang-Undang Penanaman
Modal No.25/2007. Oleh karenanya, peranan FDI dirasakan sangat perlu
untuk didatangkan.
Secara
definitif FDI disebutkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal No.25/2007 yakni
merupakan “kegiatan penanaman modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”[1].
Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa FDI atau PMA adalah modal yang dimiliki
oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan
hukum asing, dan / atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh kepemilikan
modalnya dimiliki oleh pihak asing.
OECD (1996) menuliskan definisi FDI yang oleh Robert E Lipsey diungkapkan dalam esainya bahwa “Foreign direct investment reflects the
objective of obtaining a lasting interest by a resident entity in one country
(“direct investor”) in an entity resident in an economy other than that of the
investor (“direct investment enterprise”). The lasting interest implies the
existence of a long-term relationship between the direct investor and the
enterprise and a significant degree of influence on the management of the
enterprise” (OECD, 1996, pp. 7-8).[2]
Kiprah
FDI di Indonesia mulai memperlihatkan manfaat-manfaatnya terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional. Dalam kurun waktu tahun 2000-2010 angka prosentase peranan
FDI terhadap total investasi nasional menjadi dominan, sekitar 63% dan terus
melonjak naik sampai diangka 71% nilai sumbangan investasi dari sumber FDI.
Maka jelas sekali FDI tidak lagi menjadi komponen komplementer melainkan sudah
menjadi komponen utama pertumbuhan investasi nasional. Angka fantastis seperti
itulah yang menjadi alat ukur keberhasilan peranan FDI di Indonesia.
Sebagai
wujud good impact FDI, laju
pertumbuhan ekonomi yang gemilang dengan rata-rata sekitar 7,5 % pernah
tercapai, angka pertumbuhan yang relatif tinggi ini didukung oleh berbagai faktor
yang memicu kepercayaan FDI berdatangan ke Indonesia , meliputi antara lain:
(a) dukungan kebijakan deregulasi perdagangan dan
investasi,
(b) iklim usaha yang kondusif untuk mempercepat laju
kenaikkan investasi dan juga
(c) adanya kepercayaan dunia internasional pada para
pelaku ekonomi domestik
dalam melakukan
berbagai bentuk kerjasama usaha patungan[3],
begitulah menurut analisa Rowland B.F Pasaribu.
Secara
faktual indikator-indikator keberhasilan pemerintah dalam menarik para investor
asing, memang tampak sejak masa Orde Baru, stabilitas nasional yang terjaga
dengan baik, tingkat pengangguran yang rendah, sektor industri primer yang
terkelola dengan baik, dan angka pendapatan per kapita dalam jumlah membahagiakan
menjadikan kedatangan FDI sebagai dewa penolong yang recommended bagi pembangunan nasional. Dampak terhadap devisa
secara langsung mengalami peningkatan yang signifikan, sebagai manfaat dari
berjalannya roda-roda perekonomian dengan baik.
Penyerapan
tenaga kerja menjadi poin penting yang kentara atas keberadaan FDI, karena pada
umumnya FDI bekerja dengan Multi National
Corporations (MNCs)[4] nya
yang menjalankan proses produksi secara masal, sehingga menyerap tenaga kerja
dalam jumlah besar pula. Sebagai bagian gurita good impact dari FDI juga dapat terlihat dari adanya transfer
tegnologi, para pekerja dari kalangan terdidik-pun dapat menimba pengalaman
praktis di korporasi-korporasi asing, sehingga tidak jarang mereka dapat
beralih menjadi enterpreneure mandiri yang mapan dalam ruang linkup domestik.
Stimulan-stimulan
komposisi keterlibatan anak negeri dalam korporasi asing tampak pada PT.
Freeport Indonesia yang kegiatan eksplorasinya di Papua menyerap tenaga kerja
yang mayoritas tenaga kerja lokal, Vice President CSR PT. Freeport Indonesia (PTFI)
mengutarakan dari total jumlah 24000-an pekerja PTFI komposisinya 28,34% orang
asli Papua, 69,58% pekerja dari seluruh penjuru tanah air, dan hanya 2,08% yang
berasal dari ekspatriat.[5] Angka-angka
yang tidak bisa dipungkiri memberikan porsi yang besar terhadap penyerapan
tenaga kerja lokal.
Harmonisasi
kolaborasi antara FDI sebagai korporasi raksasa asing dengan kalangan pengusaha
dalam negeri juga dapat terjadi. Pengusaha lokal berperan sebagai supplier
material / komponen pembantu produksi yang dapat menimbulkan simbiosis yang
prospektif dalam lingkup kewirausahaan nasional. Pebisnis lokal terpacu
meningkatkan kualitas yang mengarah kepada level-level eksport, sehingga
perlombaan kompetensi para pekerjapun terdorong semakin meningkat. Dalam hal
ini FDI berperan aktif dalam penentuan standarisasi komponen-komponen yang
diperlukan, yang menjadikan acuan kompetitif para pengusaha lokal. Contohnya
MNC asal negeri sakura yang bergerak dibidang otomotif PT Astra Honda Motor
(AHM) dalam sejarahnya dituliskan pengguritaan join-join bisnis, antara AHM
dengan beberapa perusahaan dalam negeri. Produksi komponen-komponen sepeda
motor Honda di sub-kan ke beberapa perusahaan lokal diantaranya PT Honda
Federal (1974) yang memproduksi komponen-komponen dasar sepeda motor Honda
seperti rangka, roda, knalpot dan sebagainya, PT Showa Manufacturing Indonesia
(1979) yang khusus memproduksi peredam kejut, PT Honda Astra Engine
Manufacturing (1984) yang memproduksi mesin sepeda motor serta PT Federal Izumi
Mfg.(1990) yang khusus memproduksi piston.[6]
Penyerapan tenaga kerja menunjukkan angka yang
cukup signifikan yang terjadi pada MNC yang bergerak dibidang industri padat
karya, contohnya industri kriya seperti furnitur. Di Yogyakarta misalnya,
banyak perusahaan asing yang memproduksi furnitur untuk diekspor, sehingga
dapat menyerap tenaga kerja lokal di sekitar wilayah pabrik-pabrik dengan
jumlah yang cukup banyak. Dan mereka masih memiliki sub-kontraktor lokal untuk
menyuplai produk-produk eksport tersebut.
Semakin marak dan menguatnya keberadaan FDI
menuntut para pengusaha domestik untuk meningkatkan mutu hasil produksinya.
Poin-poin standarisasi menjadi berkiblat kepada kejayaan hasil industri
perusahaan asing, market produk-produk nasional dapat meluas ketika konsumen
mulai tumbuh kepercayaannya terhadap produk-produk dalam negeri yang sudah
mencapai kualitas baik. Ketika mayoritas pengusaha domestik telah dapat
meningkatkan mutunya secara ajeg dan menyeluruh, maka hal ini dapat meningkatkan
daya saing perusahaan lokal terhadap perusahaan asing.
FDI SEBAGAI
BAD IMPACT
Senjata
utama FDI yang berwujud MNC nyatanya memang sulit berkelit dari fokus motif
ekspansinya. Nopirin menyebutkan ‘tujuan dan motif MNCs melakukan investasi
langsung di luar negeri juga berdeda, ada yang bermaksud untuk melakukan
ekspansi secara vertikal. Perusahaan induk (yang memproses lebih lanjut)
mendirikan cabang di luar negeri untuk menghasilkan input untuk diproses lebih
lanjut oleh perusahaan induk. Ada
pula MNCs yang berekspansi secara horizontal dengan cara mendirikan cabang di
luar negeri dengan melakukan kegiatan yang hampir sama dengan perusahaan induk.[7]
Celakanya,
mayoritas FDI di Indonesia yang berwujud MNCs raksasa bergerak dibidang
eksplorasi hasil alam, yang hasilnya di ekspor ke negara induk mereka (ekspansi
vertikal). Sudah pasti, hal ini membawa dampak kepada semakin menipisnya cadangan
sumber alam Indonesia .
Lihat saja Cevron, Freeport ,
dan Exxon Mobile. Dalam sektor migas misalnya, para pelaku sektor migas
nasional menilai cadangan minyak di bumi pertiwi kian menipis, bahkan
disinyalir hanya mampu bertahan dalam kurun waktu 10 sampai 12 tahun mendatang.
Ini bukti riil sebagai dampak jangka panjang (long term impact) yang ditimbulkan dari proses eksplorasi korporasi-korporasi
terhadap sumber daya alam, sumber- sumber yang tidak bisa dilakukan peremajaan serta
sustainability proses didalamnya.
Data
dari Ditjen Migas pada pertengahan tahun lalu terbaca sangat menyedihkan ketika
hampir 74% sumur-sumur minyak dan gas di Indonesia dikuasai oleh
perusahan-perusahaan asing, jadi hanya sisanya saja yang dieksplorasi oleh
Pertamina. Komplotan perusahaan FDI yang mengeksplorasi kekayaan migas, mayoritas
memiliki kontrak jangka panjang yang mereka sesuaikan dengan perhitungan
persediaan sumber yang akan mereka eksplorasi. Kontrak mereka didasarkan pada akurasi
penelitian mereka terhadap jumlah ketersediaan sumber alam yang terdesia.
Sehingga sederhananya saja, mereka akan mengahiri kontraknya pada saat sumber alam
sudah habis. Habisnya sumber alam (natural
resources) tentu saja merupakan wujud kerusakan alam krusial bagi Indonesia .
[8]
Di
Aceh misalnya, kegiatan eksplorasi gas alam cair oleh Exxon Mobil berakibat
pada terjadinya tanah amblas seluas 33 hektar. Lahan milik warga di Lubuk
Pusaka ini milik warga di empat dusun Kecamatan
Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, di sekitar Cluster D1 SLS Pase Dusun Bidari.
Contoh konkrit kerusakan alam yang ditimbulkan dari proses eksplorasi
perusahaan asing.
Penistaan
terhadap kebaikkan alam berlangsung terus menerus disetiap kegiatan MNCs,
kerusakan habitat tidak dapat terhindarkan, merujuk pada artikel hasil laporan
ekslusif Jane Prleze dan Raymond Bonner terhadap dampak
pencemaran dari eksplorasi tambang Freeport di Papua “Down below, nearly 90 square miles of
wetlands, once one of the richest freshwater habitats in the world, are
virtually buried in mine waste, called tailings, with levels of copper and
sediment so high that almost all fish have disappeared, according to
environment ministry documents”[9].
Mereka menambahkan limbah tailing Freeport
juga telah mencemari taman nasional Lorentz, yang notabene telah mendapatkan
pengakuan status spesial dari PBB. Sudah pasti ini merupakan kerugian fatal
bagi lingkungan hidup di Papua, dan membutuhkan waktu panjang dan biaya besar
untuk recovery nya.
Lalu
bagaimana taring pemerintah mampu berdaya dalam menjegah tindakan Freeport
diatas, masih menurut Jane Prleze dan Raymond Bonner, yang ada hanya
sebuah keprustasian semata, mereka menuliskan “At one point last year, a ministry scientist wrote that the mine's
production was so huge, and regulatory tools so weak, that it was like
"painting on clouds" to persuade Freeport to comply with the
ministry's requests to reduce environmental damage”[10]. Ketidakmampuan
pemerintah dalam memberikan efek kontrol terhadap kegiatan sebuah MNC seperti inilah
yang menjadikan keberadaan FDI menjadi sebuh ironi di Indonesia .
Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam laporan resminya yang berjudul Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan
Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua (2006) menuliskan poin-poin
pelanggaran Freeport terhadap lingkungan dan alam di Papua sebagai berikut:
• Telah lalai dalam pengelolaan limbah batuan,
bertanggung jawab atas longsor berulang
pada limbah batuan Danau Wanagon yang berujung pada
kecelakaan fatal dan keluarnya
limbah beracun yang tak terkendali (2000).
• Hendaknya membangun bendungan penampungan tailing
yang sesuai standar teknis legal untuk bendungan, bukan yang sesuai dengan
sistem sekarang yang menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat
(2001).
• Mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai
pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk
memindahkan tailing. Perusahaan diminta untuk membangun pipa tailing ke dataran
rendah (2001, 2006).
• Mencemari sistem sungai dan lingkungan muara
sungai, dengan demikian melanggar standar baku
mutu air (2004, 2006).
• Membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage)
tanpa memiliki surat
izin limbah
berbahaya, sampai pada tingkatan yang melanggar
standar limbah cair industri, dan gagal
membangun
pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan (2006)[11].
Realita ironi yang tengah dialami
negeri ini yang dahulu sering dielu-elukan sebagai negara kaya sumber alam
dilintasan katulistiwa, pada nyatanya ketika sebuah kebijakan elit-elit pengampu
kekuasaan yang belum matang justru mengakibatkan pertiwi ini kian miskin saja.
Seharusnya pemerintah dapat berperan aktiv dalam menjalankan kontrol terhadap
FDI dan pergerakannya bersama MNCs-nya dengan peraturan yang jelas dan tegas.
Dibelahan
bumi Indonesia
bagian tengah juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi
di tanah Papua. Adalah PT Newmont Minahasa Raya (PTNMR) sebagai sebuah MNC dari
FDI yang menancapkan cakarnya dengan bergerak dibidang pertambangan. di
provinsi Sulawesi Utara PTNMR dalam kegiatan eksplorasinya berujung pada
menyeruaknya permasalahan pencemaran terhadap teluk Buyat. Berbagai penyakit
diderita masyarakat sekitar area pertambangan, rusaknya ekosistem dan ekologi
teluk Buyat menuai protes dari berbagai pihak. Puncaknya adalah gugatan WALHI
terhadap PTNMR atas pencemaran lingkungan tersebut. Artikel WALHI yang berjudul
“Mendulang akibat, menyamarkan sebab” 2010 lalu menuliskan, Pengamatan Walhi Sulut juga menemukan
temuan serupa. Harmin Modeong, mantan karyawan PTNMR, sejak tahun 2000
menderita sakit di jantungnya, sampai saat ini, kakinya sudah membengkak dan
tak bisa digerakkan maksimal. Tubuhnya kini mengalami tremor, kaki dan tangan
kanan gemetar. Istrinya, Yatin Gonibala juga mengalami benjolan di bagian leher
yang dikatakan dokter sebagai gondok dan lipoma[12].
Memang kini PTNMR telah ditutup,
namun gugatan hukum terhadap Richard M Ness dan PT NMR ternyata kandas dimeja
hukum. Gugatan yang berahir pada tanggal 16 Februari 2006 dengan diselimuti
oleh dirilisnya “goodwill agreement”
yang ditandatangani oleh pemerintah dan PTNMR. Goodwill agreement berisi
kesepakatan niat baik PTNMR atas yang diantaranya menyepakati dana perbaikan
lingkungan, pemantauan lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat hingga 2016[13].
Namun ternyata realita yang terjadi di Buyat tidak seperti apa yang PTNMR
goreskan dalam bualan goodwill agreement-nya,
ekosistim Buyat hingga kini tetap rapuh, berbagai habitat air punah, dan masih
banyak masyarakat Minahasa Utara yang menderita penyakit akibat tercemarnya
teluk Buyat oleh limbah tailing PTNMR itu.
Begitulah pada kenyataanya kiprah
FDI di Indonesia membawa dampak negatif yang krusial terhadap kelestarian alam
sebagai akibat dari pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistim, dan semakin menipisnya
sumber kekayaan alam yang ditimbulkan dari kegiatan eksplorasi MNCs. Minimnya
kesadaran dalam upaya-upaya penciptaan tegnologi daur ulang terhadap
limbah-limbah eksplorasi dan sistem peremajaan kelestarian alam menambah
deretan penderiataan bumi pertiwi. Sementara pihak asing pemilik modal semakin
meraup banyak keuntungan dari FDI-nya di Indonesia.
Pemahaman akan terstimulusnya kemajuan bagi
Indonesia terhadap kedatangan FDI juga tidak sepenuhnya benar, lihat saja
negara ini yang tetap dalam status negara phery-phery
(pinggiran) terhadap penetrasi kekuasaan negara-negara asing pemegang modal.
Hal ini merupakan fenomena terhadap mayoritas FDI dibanyak negara berkembang.
Seperti halnya yang Hirst dan Thomson sebutkan bahwa lalu lintas modal tidak
mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara
besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Sebaliknya, penanaman
modal asing (FDI: Foreign Direct
Investment) justru banyak terpusat di negara-negara industri maju,
sedangkan Dunia Ketiga–—kecuali segetintir negara industri baru— tetap
memempati posisi pinggiran, baik dari sisi investasi maupun perdagangan.[14]
Cengkraman FDI di Indonesia juga
melahirkan suatu kondisi dependensif yang cukup akut. Hubungan yang
ketergantungan (dependencia) terhadap
aturan-aturan main yang diciptakan FDI sebagai aktor penggerak utama roda-roda
perekonomian kian nyata dan berlangsung terus-menerus. Seolah Indonesia dibuat
bertekuk lutut terhadap dominasi FDI dalam pusaran mesin perekonomian dalam
negeri. Di Freeport misalnya, setiap kali hendak diadakan proses renegosiasi
kontrak karya yang memungkinkan posisi bergaining
Indonesia meningkat untuk mengurangi intervensi MNC raksasa AS itu, seperti
yang terahir pada September 2012 lalu secara spontan menteri luar negeri
Amerika Serikat Hillary Clinton meluncur mengunjungi Indonesia. Alibinya memang
tidak membahas Freeport melainkan isu-isu global yang lain, namun nyatanya
kontrak karya PT. Freeport Indonesia mulus melenggang diperpanjang hingga tahun
2041, karena Freeport Mac Moran memang merupakan perusahaan penting AS dengan
’status quo”-nya, dan pemerintah AS memiliki kepentingan nasional yang tinggi
untuk mempertahankan status tersebut.
Memang pada dasarnya secara teoritis,
Teori Ketergantungan lahir dari kondisi pembangunan di negara dunia ketiga. Andre
Gunder Frank , yang oleh Arief Budiman
dalam bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga dikategorikan kedalam Teori
Ketergantungan Klasik. Frank pada intinya menyebutkan Teori Dependensia
merupakan sebuah pembangunan keterbelakangan, dalam bukunya yang sangat
berpengaruh, Capitalism and
Underdevelopment in Latin America, Frank mengatakan: “Saya percaya, bersama
Paul Baran, bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah
faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan dimasa lalu dan yang terus
mengembangkan keterbelakngan dimasa sekarang”.[15]
Konseptualisasi diatas memperkuat bahwa
memang sejatinya tidak pernah ada simbiosis yang secara berkelanjutan
memberikan positifisme terhadap Indonesia atas keberadaan FDI. Permasalahan
yang kompleks justru kian muncul kepermukaan, tidak hanya terjadi pada sendi-sendi
perkonomian, tatapi juga stabilitas politik dan sosial di dalam negeri.
Kesenjangan sosial yang terjadi antara si kaya dan si miskin terus meningkat,
sebagai efek dari dualisme antara kelompok-kelompok yang mendapat manfaat FDI
dengan kelompok lain jauh dari jangkauan kebaikan-kebaikan FDI.
Aroma ketergantungan yang berkepanjangan
kian tercium dalam industri produkstif yang mengarah pada sektor agraris di
negeri ini, potensi natural agraris Indonesia justru mengalami kemerosotan
ketika semakin menguatnya MNCs yang lebih bergairah bergulat dengan industri
otomotif maupun elektronik. Jejaring simbiosis terhadap sektor agraris tidak
terjalin dengan harmonis, jutru sebaliknya potensi agraris tidak terolah dengan
baik. Hal ini yang menunjukkan ketidak sesuaian pola perkembangan industri
nasional, dikarenakan MNCs padat modal dan minim permintaan terhadap hasil
industri agraris. Ketika industri agraris yang padat karya kian mandeg, maka
yang timbul adalah semakin membengkaknya jumlah pengangguran dan bergantungnya
tenaga kerja terhadap MNC raksasa dengan peranan sebagai buruh bawahan semata.
Mochtar Mas,oed (1990) menyimpulkan bahwa inti
dari teori dependensia bisa diringkas sebagai berikut: Penetrasi asing dan
ketergantungan eksternal menyebabkan timbulnya distorsi besar-besaran dalam
struktur ekonomi “pinggiran” (periphery),
yang pada gilirannya menimbulkan konflik sosial yang gawat dan akhirnya
mendorong timbulnya penindasan negara terhadap rakyat dimasyarakat yang
tergantung itu.[16] Ketika suatu negara telah
berada dalam titik tersebut, maka yang kemudian yang terbentuk adalah
kecanggungan pengampu kekuasaan terhadap rakyatnya dalam hal mengutamakan
kepentingan-kepentingan dasar rakyat. Pemerintahan yang sedang berlangsung
lebih ramah kepada kepentingan-kepentingan asing, yang masih menyimpan sisi
terselubung kepentingan penetratif-nya.
Alih-alih secara utuh kian menjadi negara
yang sudah mapan dalam perekonomiannya, lebih jauh lagi pemerintah justru dibebani
PR atas kompleksitas kesenjangan-kesenjangan yang terjadi di masyarakat,
sebagai akibat dari hubungan distorsif antar kelompok-kelompok yang diuntungkan
versus kelompok-kelompok yang dirugikan oleh keberadaan MNCs. Ketika kelompok
yang dirugikan kian tertindas, maka arogansi-arogansi perlawanan dilakukan oleh
mereka. Keamanan menjadi terganggu, konflik-konflik internal diruang lingkup
masyarakat justru timbul, menjadikan permusuhan sesama etnis penduduk lokal di
sekitar perusahaan asing berdiri. Inilah yang menandai menjalarnya bad impact FDI kepada ruang lingkup lain.
Pada hakekatnya MNCs yang beroperasi disebuah negara wajib memiliki
sendi-sendi norma dalam kegiatan bisnisnya, hak-hak ulayat komunitas lokal,
nilai-nilai Corporate Social Responsibility selayaknya benar-benar
dijalankan oleh mereka. Seperti yang diutarakan oleh Sergio Cobo bahwa ”We
cannot be too idealistic in what we press for, but these companies should be
providing at least a minimum of basic human rights in the workplace. The obligation
of the companies should include respect for the dignity of the person and
acknowledgment of their social, economic and cultural rights. That means, at
the very least, dignified treatment, safe conditions, social security coverage
and some contractual stability.” [17]Namun
faktanya, terlalu tampak dipermukaan ketidak seimbangan tanggungjawab sosial
dalam kegiatan FDI terhadap masyarakat di Indonesia .
Seperti halnya yang dikatakan Mohtar
Mas’oed, ketika pemerintah Indonesia sudah sampai kepada fase penindasan
terhadap masyarakatnya sendiri, pada saat itulah sebuah distorsi yang kronis
atas sebuah hubungan perlindungan negara terhadap rakyatnya.
Penetrasi-penetrasi asing lebih memiliki daya dalam mengendalikan
kebijakan-kebijakan dalam negeri. Saat kelompok-kelompok minoritas yang
dirugikan atas sebuah kegiatan MNCs melakukan pemberontakan, alih-alih
mendapatkan dukungan dari pemerintah supaya tuntutan mereka terhadap MNC
terealisasi dan terjembatani, justu kekuatan personil militer nasional yang
diajukan untuk berhadapan dengan mereka, yang notabene seyogyanya menjadi
pelindung dan pengayom rakyat. Pada ahirnya aroma pelanggaran HAM pun menyeruak
kepermukaan.
FDI yang berdampak pada pelanggaran HAM
tampak jelas terjadi di Papua, Sejak awal kedatangannya pada tahun 1970an
Freeport yang area eksplorasinya masih diduduki suku asli Amungme diusir secara
paksa. Pengamanan yang ketat juga dilakukan oleh perusahaan tambang ini, tidak
jarang masyarakat lokal menjadi korbannya. Freeport melakukan mekanisme pengamanan di
daerah pertambangannya. Beberapa di antaranya dilakukan dengan membangun
fasilitas dan infrastruktur militer serta pembentukan badan-badan khusus. PT.
Freeport Indonesia pun telah
membentuk suatu badan khusus, yakni Emergency Planning Operation (Perencanaan
Operasi Darurat) untuk menangani hubungan baru Freeport
dengan militer Indonesia .
Di mana dalam badan tersebut, ada seorang bekas agen CIA, atase militer di
Kedubes Amerika yang berada di Jakarta
serta dua orang mantan perwira militer Amerika.
Seperti halnya yang telah
disadari oleh David Kinley dan Sarah Joseph; “Yet corporations, especially multinational corporations (MNCs), are
very powerful entities in the current world order. Their impact on the
wellbeing of communities and individuals, including in terms of human rights,
is evident wherever they operate. While there is considerable scope for that
impact to be positive, corporate activity is often perceived to have had, and
has had, a detrimental impact on
human rights”[18].
Power yang memang kental dimiliki korporasi asing, cenderung dapat menjadi
alat kontrol baginya terhadap pemerintah untuk melindungi berjalannya kegiatan
perusahaanya.
Gejolak pelanggaran HAM serupa juga
terjadi akibat kelalaian korporasi asing, yakni penderitaan yang dialami masyarakat
Minahasa Utara yang justru hanya merasakan getahnya saja akibat dari PT Newmont
Minahasa Raya. Pembuangan tailing di teluk Buyat yang menyalahi prosedur dan
tanpa proses netralisasi mengakibatkan masyarakat yang tinggal di sekitarnya
menderita berbagai penyakit aneh, dan mereka terpaksa hidup ditengah lingkungan
yang sudah tercemar. Maka sudah pasti peristiwa-peristiwa seperti ini melanggar
UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia, seperti yang disebutkan dalam pasal 28 ayat
(4) yang berbunyi; perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusiaadalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.[19] Pada kasus Buyat ini, walaupun
memang PTNMR telah ditutup, namun tampak sekali sepak terjang pemerintah yang
seolah memberi ruang kompromistis kepada kepentingan korporasi dalam upaya
penyelesaian permasalahan yang terjadi. Disisi lain, rakyat Minahasa Utara
masih merintih menjalani penderitaan mereka.
Begitulah
semakin menjalarnya akar konflik-konflik bad
impact dari FDI yang hadir di tanah air ini, alam dan rakyat menjadi dua
elemen yang seolah berupa barang jarahan bagi korporasi asing. Sedangkan watak
pemimpin negara yang masih grogi dalam menentukan kebijakan pro-rakyat nya, mengakibatkan
arus FDI berdatangan tanpa saringan yang rapat. Seperti halnya yang disebut
oleh Adde M Wirasenjaya bahwa negara akan sibuk menjadi mitra kekuatan modal
eksternal dan melayani segala tuntutan mereka untuk hadir berinvestasi.[20]
Dalam lanskap daya saing aktor-aktor
pengusaha lokal, mendominannya FDI dalam kancah perekonomian nasional bersama
MNCs-nya, memang menjadi rival persaingan bagi para pengusaha lokal. Jika
mereka dapat dengan stabil meningkatkan mutu dan daya saingnya, memang akan
menjadi poin plus, namun faktanya semakin banyak perusahaan-perusahaan domestik
yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan perusahan asing. Para
pekerjanya terpaksa dirumahkan, dengan begini angka pengangguran justru
meningkat. Jika-pun mereka hendak menjadi pekerja di perusahaan asing, biasanya
sudah harus dihadapkan pada standar penerimaan dan seleksi yang cukup ketat dan
sulit.
Di Klaten Jawa Tengah misalnya, sebuah
area persawahan yang melimpah persediaan airnya, perusahaan air minum lokal PT.
Cokro Supertirta dengan produk Air Cokro nya berdiri di area tersebut sejak
lama. Setelah kedatangan MNCs raksasa perusahaan air minum Danone dengan produk
Aqua nya, perlahan tapi pasti disekitar wilayah berdirinya pabrik Aqua itu,
sawah-sawah menjadi kekurangan sumber pengairan. Perusahaan air minum lokal
semakin tertatih-tatih dalam pemasaran produknya. Konsumen lebih banyak membeli
air minum kemasan yang ber merk Aqua. Upaya promosi air cokro yang hanya
memasang beberapa papan nama dan baliho kecil di pinggiran jalan utama
jogja-solo, tidak menarik perhatian konsumen untuk membeli air cokro. Timpang
sekali dibandingkan dengan kekuatan modal Aqua yang beriklan di televisi dan
berbagai media promosi besar lainnya. Ujung-ujungnya, perusahaan lokal kian
terpuruk dan kalah saing terhadap FDI yang datang didaerah tersebut.
KESIMPULAN
Pergulatan
tatanan ekonomi nasional untuk mencapai sebuah titik stabil dan mengarah pada
kemakmuran rakyat memang masih harus terus menerus meniti jalan terjal untuk
sampai kepada tahapan itu. Manuver-manuver kebijakan pemerintah yang hendaknya selalu
berkiblat pada cita-cita bangsa, selayaknya selalu harus terjaga dengan baik.
Pada kenyataanya sebagai negara berkembang, Indonesia memang masih memerlukan
peranan investasi asing sebagai cara kilat untuk menginfus perekonomian
nasional, penyerapan tenaga kerja, nilai investasi dan suntikan dividen kedalam
kas negara. Adalah Foreign Direct Investment (FDI) yang kemudian di elu-elukan
dan banyak dirayu oleh pemerintah kita agar berdatangan ke bumi zamrud
khatulistiwa ini.
Tegnologi
yang mumpuni, tenaga ahli yang berpengalaman, serta kemapanan modal adalah tiga
komponen power FDI yang membuatnya
mulus bertengger dipuncak pergulatan bisnis di Indonesia. Sifat FDI dengan MNCs
nya yang mayoritas korporasi-korporasi vertikal raksasa dapat menyerap tenaga
kerja lokal dalam jumlah yang besar. Transfer tegnologi, suntikan devisa negara
dan kolaborasi keterlibatan pengusaha domestik terhadap MNCs menjadi poin yang
diincar pemerintah. Sehingga pertumbuhan laju perekonomian nasional dapat
terstimulus melaju dan meningkat sebagai good
impact atas kedatangan FDI di Indonesia.
Dalam
kiprah perjalannya, FDI yang berbentuk MNCs memang merupakan kaki tangan gurita
kapitalis, saat menginjakkan kaki mereka ke tanah pertiwi mereka tidak murni
dengan investasi jangka panjang-nya, akan tetapi juga bersama-sama dengan unsure
ekspansi dan penetrasi-nya yang dengan capital
power –nya dapat menjadi alat kontrol bagi arah kebijakan pemerintah
Indonesia guna melindungi kepentingan korporasinya. Pada saat tiba di titik
inilah, FDI di Indonesia melahirkan kondisi dualisme dalam tatanan kehidupan
ekonomi dan menjalar kepada aspek-aspek lain seperti permasalahan kelestarian
alam dan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada
saat FDI telah merajai tampuk kekuasaan perekonomian nasional, pada saat itulah
terciptanya kondisi ketergantungan pemerintah terhadap keberadaan FDI. Tanpa
disadari, antek-antek kapitalis sedang menggerogoti kemakmuran rakyat, alam-pun
dijadikan barang gadaian yang semakin lama tak kunjung dapat tertebus kembali.
Keberlangsungan lestari kehidupan generasi mendatang sama sekali tidak
terfikirkan. Yang semakin menggelembung adalah ketimbangan-ketimpangan dan
ketidak merataan kesejahteraan sosial, yang sarat konflik.
Mengutip
perkataan tokoh lingkungan hidup kita Prof.Dr Emil Salim, SE dalam tayangan
Rumah Perubahan di TVRI awal Juni ini, bahwa seyogyanya alam Indonesia telah
menyediakan sumber yang melimpah, jika kekuatan alam disatukan dengan sain dan
tegnologi anak negeri yang mumpuni maka akan menjadikan negara ini sebagai
negara yang besar. Maka PR utama kita adalah memperkualitas sumber daya manusia
dalam negeri sehingga dapat mengolah alam pertiwi dengan bijak, meminimalisir
kebergantungan dengan pihak asing, sehingga negeri ini dapat merdeka dengan
seutuhnya. Semoga!.
ENDNOTES
[1] Undang-Undang Penanaman Modal No.25/2007
[2] Robert E Lipsey, The Role of Foreign Direct Investment in International Capital Flows .
National Bureau of Economic Research. 1999
[3] Rowland B.F Pasaribu, Investasi dan
Penanaman Modal. 2013. hal.246, dalam http://rowlandpasaribu.files.wordpress.com
[4] “What
is a Multi National Corporation? The definitions vary: some are broad (all
firms – industrial; service, and financial-doing international bisiness of all
types, within a myriad of organizational structure); others are much narrowers,
based on size, extensiveness of operation in foreign and managerial orientation
dalam David H.Blake dan Robert S.Walters. The Politics of Global Economic Relations.hal.76
[5] Eben Ezer Siadari, Lebih dari 6000 Karyawan
Freeport Orang Papua, 2011, dalam www.jaringnews.com
[6] Tentang AHM, Sejarah, Mei 2013, dalam http://www.astra-honda.com/index.php/about
[7] Nopirin,Ph.d. Ekonomi Internasional. Edisi 3. 1992.hal.113. BPFE Yogyakarta
[9] Jane Prleze dan Raymond Bonner , Below Mountain
of Wealth , a River of Waste .
dalam www.nytimes.com
diakses 23 Mei 2013
[10] ibid
[11] WALHI . Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan
Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua. 2006 dalam www.walhi.or.id
diakses 22 Mei 2013
[12] WALHI, Mendulang
sebab, menyamarkan akibat. 2010 dalam
www.walhi.or.id
diakses 22 Mei 2013
[13] Ibid
[14] Paul Hirst dan Grahame Thomson.Globalisasi Adalah Mitos.Yayasan Obor
Indonesia.2001,hal 3-4
[15] Arief Budiman ,
Teori Pembangunan Dunia Ketiga,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 65
[16] Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta :
LP3ES, 1990, hal. 204
[17]
CAFOD partner, Father Sergio Cobo, Mexico , CAFOD, The Rough Guide to Multinational
Corporations
[18] Multinasional Corporations and human rights –
questions about their relationships. Monash
University . 2002
[19] UUD Pasal 28 ayat 4.
[20]
Adde M Wirasenjaya, Negara, pasar dan
Labirin Demokrasi, hal. 49 The Phinisi pers 2013
REFERENSI
Blake, David H dan
Walters, Robert S. 1991. The Politics of Global Economic Relations. : Prentice Hall PTR
Budiman, Arief,
1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Christi, Anna Suwardi. 2008. Dampak Perusahaan Multinasional terhadap Komunitas Lokal di
Papua (Studi Kasus: Interaksi PT. Freeport Indonesia dengan Komunitas Lokal di
Papua). Skripsi tidak
diterbitkan. Yogyakarta : Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional UMY.
Hirts, Paul dan Thomson, Grahame. 2001. Globalisasi Adalah Mitos. Terjemahan
P. Soemitro. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia .
Kinley, David dan Joseph,
Sarah. 2002 Multinasional Corporations and human rights questions about
their relationships. (Online),dalam(http://www.altlj.org/publications/product)
diakses 13 Mei 2013.
Lipsey, Robert E. 1999. The
Role of Foreign Investment in International Capital Flows. National Bureau of Economic
Research.dalam (http.//www.nber.org/papers/) diakses 16 April 2013
Mas’oed, Mohtar, 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan
Metodologi. Jakarta :
LP3ES.
Nopirin,1992. Ekonomi
Internasional. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Prleze, Jane dan Bonner,
Raymond. 2005. Countain of Wealth,
a River of Waste . (Online),dalam(http://www.nytimes.com/2005/12/27/international/asia/27gold.html?pagewanted=all&_r=0)
diakses 23 Mei 2013.
Undang-Undang Dasar No. 25 Tahun 2007
Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1967
Wibowo, Wahyudi. 2013. We Should Gain More From FDI. (Online), dalam (http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/16/we-should-gain-more-fdi.html)
diakses 24 Mei 2013
Wirasenjaya, Adde M
(ed). 2013, Negara, pasar dan
Labirin Demokrasi.Yogyakarta. The Phinisi Pres.
No comments:
Post a Comment