Semenanjung Korea “rindu” Kebijakan
Sinar Matahari
Seolah bak bola salju, ketengangan yang terjadi di
Semenanjung Korea
kian bergulir membesar memicu pecahnya peperangan. Sejarah menuliskan sejak
meletupnya Perang Korea yang berlangsung dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, sepertinya dua
Negara bersaudara itu tak kunjung berdamai secara utuh. Korea Utara yang kian
hari kian gencar dalam memgembangkan dan memperkuat teknologi militerisasinya,
semakin memperkeruh situasi hubungannya dengan rivalnya Korea Selatan yang
notabene bersekutu dengan sang super
power Amerika Serikat.
Pecahnya Semenanjung Korea pada hakekatnya merupakan
hasil peninggalan World War II,
Wikipedia menuliskan bahwa “dampak dari penjajahan Jepang yang berakhir dengan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II tahun
1945 adalah Korea dibagi pada paralel utara ke-38 mengikuti persetujuan dengan PBB. Wilayah utara diatur oleh Uni Soviet, dan bagian selatan
oleh Amerika Serikat”[1]
Kedua Negara ini dipisahkan oleh
zona demiliterisasi yang diperuntukkan sebagai perbatasan resmi wilayah teritorial
masing-masing Negara. Bermudez menyebutkan “Zona Demiliterisasi ini membelah Semenanjung Korea hampir tepat separo,
melintasi garis khayal 38 derajat Lintang Utara pada sebuah sudut, dengan ujung barat zona ini ada di
selatan garis paralel dan ujung timur ada di utaranya. Zona ini sepanjang 248
km dan selebar hampir 4 km, dan menjadi perbatasan militer terpadat di dunia”[2]
Korea Utara dibawah rezim yang super militeris dan
diktator totaliter sejak ala kepemimpinan Kim Il Sung sepertinya telah mengakar
kuat ditubuh Negara itu hingga kekuasaan Kim Jong-il dan sampai kepada masa
kepemimpinan belia Kim Jong-un sekarang ini. Beberapa upaya perdamaian antar ke
dua Negara sepertinya sulit diterapkan secara kuntinuitas.
Disisi lain, sebagai Negara yang demokratis pada
dasarnya Korea Selatan sering berupaya memposisikan diri sebagai Negara
berdaulat yang menghindari peperangan. Adalah mendiang presiden Kim Dae Jung yang
menggoreskan sejarah perdamaian antar Negara semenajung itu dengan mahakarya
kebijakan nya yang dijuluki “kebijakan sinar matahari”. Kebijakan Sinar
Matahari di rilis pada tahun 1998 yakni merupakan kebijakan luar negeri Korea
Selatan terhadap Korea Utara, dengan berbalut misi perdamaian, kebijakan ini
membuka momen bersejarah bagi rakyat korea yang bertahun-tahun berkutat dengan
ketegangan permusuhan bersaudara.
Gagasan utama Kim Dae Jung belandaskan pada anti
pertentangan, sehingga manuver seperti bantuan-bantuan kemanusiaan dapat
membimbing Korea Utara membukakan pintunya. Akurnya kedua Negara ini semakin
tampak nyata pada pertemuan puncak di Pyongyang
pada tahun 2000 silam. Berbagai kontrak kerjasama bilateral disepakati, dan
penetralisiran argumentasi pertentangan semakin digalakkan guna tercapainya
harmonisasi hubungan kedua Negara. Keberhasilan kebijakan sinar matahari
membawa mendiang Kim Dae Jung dinobati nobel perdamaian.
Rakyat Korea yang hidup pada masa
kepemimpinan Kim relativ lebih berpandangan bijak dalam menanggapi hubungan
dengan tetangga mereka Korea Utara. Kim mengajarkan bahwa mereka yang berada di
Korea Utara adalah sama dengan mereka, permusuhan hanya akan menimbulkan
kesengsaraan dan ongkos tinggi atas penderitaan rakyat.
Pasca kepemimpinan Kim , Korea
Selatan berada dibawah komando presiden Lee Myung-Bak pada tahun 2008. Masa
kejayaan kebijakan sinar matahari-pun mulai meredup, rintangan utama yang
muncul datang dari rajinya Korea Utara mengembangkan teknologi nuklirnya, hal
ini memicu kembali ketegangan konflik antar kedua Negara. Lee yang merupakan
tokoh konservatif justru meladeni ketengangan yang menyeruak kembali, ia merasa
nuklir Korea Utara menjadi ancaman bagi negaranya. Dengan sekutunya Amerika,
Lee mempersiapkan upaya-upaya perlawanan
kepada rivalnya Korea Selatan.
Hemat saya, Korea Selatan seolah dipasang sebagai
“boneka” yang dipajang di deretan terdepan pertahanan Amerika terhadap serangan
Korea
utara. Kalaupun Korea Utara benar-benar akan melancarkan agresi serangan
nuklirnya, pada intinya Amerika-lah sasaran utamanya. Bersekutunya Korea selatan
dengan Amerika, membuat Korea Utara memandang saudaranya setali tiga uang
dengan musuh mereka sesungguhnya.
Kembali menegangnya status militer di Semenanjung Korea pada awal
2013 ini, memunculkan berbagai kecaman yang diarahkan kepada Korea Utara.
Pangkalan militer Amerika Pentagon,mengerahkan kekuatan militernya dengan dalih
melindungi sekutunya Korea Selatan. Kenyataan seprti inilah yang sebenarnya
menununjukkan bahwa Amerika sendiri sudah faham betul, bahwa musuh sesungguhnya
Korea Selatan adalah dirinya. Contohnya pekan lalu Amerika mengumumkan
penundaan uji coba rudalnya, hal ini dinyatakan petinggi Pentagon. Kementerian
Pertahanan AS beralasan penundaan uji coba rudal ini untuk menghindari
kesalahan persepsi oleh Korea Utara di tengah meningkatnya ketegangan Korut
dengan AS dan Korea Selatan. "Alasannya adalah bijaksana," kata
Pejabat Pentagon tersebut,[3] demikian
yang dilansir vivanews.
Pihak Korea Utara kian hari melakukan pergerakan
kearah pecahnya perang, setelah Maret lalu mengumumkan ancaman perang terbuka,
April ini Korea Utara menyatakan tidak menjamin keselamatan para diplomat asing
yang ada di negaranya. Sepertinya emosional darah muda Kim Jong-un kian bergelora
menyalakan api dendamnya terhadap Amerika dan Korea Selatan sebagai tumbalnya.
Kementrian luar negeri Korea Utara berujar "Pertanyaannya saat ini bukan
apabila terjadi perang, tetapi kapan perang itu akan terjadi di semenanjung Korea akibat
peningkatan ancaman dari Amerika Serikat". [4]
Maka semakin tampak kepermukaan, bahwa bertahun-tahun
mengembangkan nuklirnya, Korea Utara menjadikan Amerika-lah sebagai rival
sejati mereka, namun dikarenakan tetangganya Korea Selatan bersekutu dengan
Amerika, maka permusuhan bersaudara itupun kian tumbuh subur di Semenajung Korea. Rakyat yang sederhanyanya mengharapkan
dapat hidup damai dalam keseharianya, menjadi korban utama atas ketegangan
konflik elit yang ada. Seandainya saja semenajung itu boleh curhat, ia merindukan
berkilaunya kembali kebijakan sinar matahari.