Tuesday, April 16, 2013

Semenanjung Korea “rindu” Kebijakan Sinar Matahari


Semenanjung Korea “rindu” Kebijakan Sinar Matahari

Seolah bak bola salju, ketengangan yang terjadi di Semenanjung Korea kian bergulir membesar memicu pecahnya peperangan. Sejarah menuliskan sejak meletupnya Perang Korea yang berlangsung dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, sepertinya dua Negara bersaudara itu tak kunjung berdamai secara utuh. Korea Utara yang kian hari kian gencar dalam memgembangkan dan memperkuat teknologi militerisasinya, semakin memperkeruh situasi hubungannya dengan rivalnya Korea Selatan yang notabene bersekutu dengan sang super power Amerika Serikat.
Pecahnya Semenanjung Korea pada hakekatnya merupakan hasil peninggalan World War II, Wikipedia menuliskan bahwa “dampak dari penjajahan Jepang yang berakhir dengan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II tahun 1945 adalah Korea dibagi pada paralel utara ke-38 mengikuti persetujuan dengan PBB. Wilayah utara diatur oleh Uni Soviet, dan bagian selatan oleh Amerika Serikat[1]
Kedua Negara ini dipisahkan oleh zona demiliterisasi yang diperuntukkan sebagai perbatasan resmi wilayah teritorial masing-masing Negara. Bermudez menyebutkan “Zona Demiliterisasi ini membelah Semenanjung Korea hampir tepat separo, melintasi garis khayal 38 derajat Lintang Utara pada sebuah sudut, dengan ujung barat zona ini ada di selatan garis paralel dan ujung timur ada di utaranya. Zona ini sepanjang 248 km dan selebar hampir 4 km, dan menjadi perbatasan militer terpadat di dunia”[2]
Korea Utara dibawah rezim yang super militeris dan diktator totaliter sejak ala kepemimpinan Kim Il Sung sepertinya telah mengakar kuat ditubuh Negara itu hingga kekuasaan Kim Jong-il dan sampai kepada masa kepemimpinan belia Kim Jong-un sekarang ini. Beberapa upaya perdamaian antar ke dua Negara sepertinya sulit diterapkan secara kuntinuitas.
Disisi lain, sebagai Negara yang demokratis pada dasarnya Korea Selatan sering berupaya memposisikan diri sebagai Negara berdaulat yang menghindari peperangan. Adalah mendiang presiden Kim Dae Jung yang menggoreskan sejarah perdamaian antar Negara semenajung itu dengan mahakarya kebijakan nya yang dijuluki “kebijakan sinar matahari”. Kebijakan Sinar Matahari di rilis pada tahun 1998 yakni merupakan kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara, dengan berbalut misi perdamaian, kebijakan ini membuka momen bersejarah bagi rakyat korea yang bertahun-tahun berkutat dengan ketegangan permusuhan bersaudara.
Gagasan utama Kim Dae Jung belandaskan pada anti pertentangan, sehingga manuver seperti bantuan-bantuan kemanusiaan dapat membimbing Korea Utara membukakan pintunya. Akurnya kedua Negara ini semakin tampak nyata pada pertemuan puncak di Pyongyang pada tahun 2000 silam. Berbagai kontrak kerjasama bilateral disepakati, dan penetralisiran argumentasi pertentangan semakin digalakkan guna tercapainya harmonisasi hubungan kedua Negara. Keberhasilan kebijakan sinar matahari membawa mendiang Kim Dae Jung dinobati nobel perdamaian.
Rakyat Korea yang hidup pada masa kepemimpinan Kim relativ lebih berpandangan bijak dalam menanggapi hubungan dengan tetangga mereka Korea Utara. Kim mengajarkan bahwa mereka yang berada di Korea Utara adalah sama dengan mereka, permusuhan hanya akan menimbulkan kesengsaraan dan ongkos tinggi atas penderitaan rakyat.
Pasca kepemimpinan Kim, Korea Selatan berada dibawah komando presiden Lee Myung-Bak pada tahun 2008. Masa kejayaan kebijakan sinar matahari-pun mulai meredup, rintangan utama yang muncul datang dari rajinya Korea Utara mengembangkan teknologi nuklirnya, hal ini memicu kembali ketegangan konflik antar kedua Negara. Lee yang merupakan tokoh konservatif justru meladeni ketengangan yang menyeruak kembali, ia merasa nuklir Korea Utara menjadi ancaman bagi negaranya. Dengan sekutunya Amerika, Lee mempersiapkan  upaya-upaya perlawanan kepada rivalnya Korea Selatan.
Hemat saya, Korea Selatan seolah dipasang sebagai “boneka” yang dipajang di deretan terdepan pertahanan Amerika terhadap serangan Korea utara. Kalaupun Korea Utara benar-benar akan melancarkan agresi serangan nuklirnya, pada intinya Amerika-lah sasaran utamanya. Bersekutunya Korea selatan dengan Amerika, membuat Korea Utara memandang saudaranya setali tiga uang dengan musuh mereka sesungguhnya.
Kembali menegangnya status militer di Semenanjung Korea pada awal 2013 ini, memunculkan berbagai kecaman yang diarahkan kepada Korea Utara. Pangkalan militer Amerika Pentagon,mengerahkan kekuatan militernya dengan dalih melindungi sekutunya Korea Selatan. Kenyataan seprti inilah yang sebenarnya menununjukkan bahwa Amerika sendiri sudah faham betul, bahwa musuh sesungguhnya Korea Selatan adalah dirinya. Contohnya pekan lalu Amerika mengumumkan penundaan uji coba rudalnya, hal ini dinyatakan petinggi Pentagon. Kementerian Pertahanan AS beralasan penundaan uji coba rudal ini untuk menghindari kesalahan persepsi oleh Korea Utara di tengah meningkatnya ketegangan Korut dengan AS dan Korea Selatan. "Alasannya adalah bijaksana," kata Pejabat Pentagon tersebut,[3] demikian yang dilansir vivanews.
Pihak Korea Utara kian hari melakukan pergerakan kearah pecahnya perang, setelah Maret lalu mengumumkan ancaman perang terbuka, April ini Korea Utara menyatakan tidak menjamin keselamatan para diplomat asing yang ada di negaranya. Sepertinya emosional darah muda Kim Jong-un kian bergelora menyalakan api dendamnya terhadap Amerika dan Korea Selatan sebagai tumbalnya. Kementrian luar negeri Korea Utara berujar "Pertanyaannya saat ini bukan apabila terjadi perang, tetapi kapan perang itu akan terjadi di semenanjung Korea akibat peningkatan ancaman dari Amerika Serikat". [4]
Maka semakin tampak kepermukaan, bahwa bertahun-tahun mengembangkan nuklirnya, Korea Utara menjadikan Amerika-lah sebagai rival sejati mereka, namun dikarenakan tetangganya Korea Selatan bersekutu dengan Amerika, maka permusuhan bersaudara itupun kian tumbuh subur di Semenajung  Korea. Rakyat yang sederhanyanya mengharapkan dapat hidup damai dalam keseharianya, menjadi korban utama atas ketegangan konflik elit yang ada. Seandainya saja semenajung itu boleh curhat, ia merindukan berkilaunya kembali kebijakan sinar matahari.   





Friday, April 12, 2013

Dependencia Theory


Teori Ketergantungan (Dependensia)
Teori dependensia lahir dari kondisi pembangunan dinegara-negara dunia ketiga (negara sedang berkembang) termasuk Indonesia. Menurut Bjon Hettne pendekatan “ketergantungan” (dependencia) menjadi bagian dari orientasi strukturalistik umum dalam teori pembangunan yang juga dipelopori oleh beberapa ahli ekonomi pembangunan di dunia pertama.[1]
Pendapat lain mengenai teori ketergantungan juga diungkapkan oleh Andre Gunder Frank , yang oleh Arief Budiman dalam bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga dikategorikan kedalam Teori Ketergantungan Klasik. Frank pada intinya menyebutkan Teori Dependensia merupakan sebuah pembangunan keterbelakangan, dalam bukunya yang sangat berpengaruh, Capitalism and Underdevelopment in Latin America, Frank mengatakan: “Saya percaya, bersama Paul Baran, bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan dimasa lalu dan yang terus mengembangkan keterbelakngan dimasa sekarang”.[2]
Dalam teori dependensia sangat menonjol sifat ketergantungan dari negara berkembang terhadap negara maju untuk membantu pembangunan dalam negerinya. Lebih lanjut, Frank dalam teorinya mengembangkan tentang konsep negara pusat dan negara pinggiran, yang disebutnya sebagai negara metropolis dan negara satelit. Dalam hal ini Frank menkonsentrasikan kepada arah mengenai aspek politik dari hubungan yang ada, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan klas-klas yamg berkuasa dinegara-negara satelit.
Pada teori Frank jelas ada tiga komponen utama: (1) modal asing, (2) pemerintah lokal di negara-negara satelit, dan (3) kaum borjuasinya. Pembangunan hanya terjadi dikalangan mereka. Sedangkan rakyat banyak, yang menjadi tenaga upahan, dirugikan. Maka ciri-ciri perkembangan kapitalisme satelit adalah: (1) kehidupan ekonomi yang tergantung, (2) terjadinya kerjasama antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara-negara satelit, yakni para pejabat pemerintah, klas tuan tanah dan pedagang, dan (3) terjadinya ketimpangan antara yang kaya (klas yang dominan yang melakukan eksploitasi) dan yang miskin (rakyat jelata yang dieksploitir) di negara-negara satelit.[3]
Mochtar Mas,oed dalam bukunya Ilmu Hubungan Internasional-Disiplin dan Metodologi menyimpulkan bahwa inti dari teori dependensia bisa diringkas sebagai berikut: Penetrasi asing dan ketergantungan eksternal menyebabkan timbulnya distorsi besar-besaran dalam struktur ekonomi “pinggiran” (periphery), yang pada gilirannya menimbulkan konflik sosial yang gawat dan akhirnya mendorong timbulnya penindasan negara terhadap rakyat dimasyarakat yang tergantung itu.[4]
                                  Gambar 1
II                     Distorsi sektor perdagangan
 
III                    Distorsi ekonomi internal
 
VI                          Distorsi sosiopolitik


V                           Konflik sosiopolitik
 
I                                   Penetrasi asing
 
Model Sederhana Teori Ketergantungan






















Sumber: Raymond Duvall, at, all “A Formal Model of Dependencia Theory: Structur and Measurement”, dalam R Morrit dan B.Russett (Eds) From National development to Global Community (Allen & Unwin, 1981), dalam Mochtar Mas’oed Disiplin dan Metodologi hal. 206


[1] Bjon Hettne, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2001,            hal. 9
[2] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 65
[3] Ibid. hal. 66-67
[4] Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta : LP3ES, 1990, hal. 204

"solar mendadak langka"


Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak sebagai segelintir bukti cengraman intervensi Bank Dunia (World Bank) terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia

Beberapa pekan terahir  banyak daerah di tanah air mengalami kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar non subsidi, berbagai media electronik maupun cetak memuat berita mengenai perihal ini. Masyarakat disulitkan dengan sulitnya nya membeli solar, di SPBU sering sekali terjadi kekosongan solar yang mengakibatkan antrian panjang kendaraan menunggu solar tersedia. Saat sudah tiba di SPBU pun masyarakat yang sudah berlama-lama mengantri harus dehadapkan pada pembatasan pembelian solar tersebut. Contohnya di sejumlah SPBU area Jogja-Jateng kendaraan jenis truck 125PS dengan kapasitas tanki bahan bakar rata-rata 75 liter, hanya diperbolehkan membeli Rp 100.000,- atau setara dengan 22,22 liter saja. Ironi melihat nasib rakyat ini, yang masih saja selalu harus dihadapkan dengan berbagai dampak kebijakan pemerintah yang belum efektif ditengah melimpahnya sumber alam di negeri ini.

Apa yang sebenarnya melatarbelakangi peristiwa yang sedang terjadi ini? Secara faktual hal ini dikarenakan oleh dikeluarkanya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2013 tentang pengendalian penggunaan bahan bakar minyak [1].Bila kita telaah dengan lebih komrehensif, dari nama Permen nya saja sudah memiliki makna ambigu yang terletak pada kata “pengendalian”, menurut paham saya, tujuan pemerintah pada makna konteksnya tentu saja sebuah kebijakan yang “benar”, mengingat sudah adanya kesepakatan antara DPR RI dan Pemerintah tahun 2013 tentang nilai subsidi BBM sebesar 46 juta KL sehingga kementrian ESDM pun dirasakan perlu mengeluarkan Permen ini supaya tidak melampaui kuota subsidi yang telah disepakati tersebut.

Jika program ini 100% berhasil akan menghemat sekitar 1,3 juta Kl,” ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Susilo Siswo Utomo, dalam acara Sosialisasi Pengendalian BBM Bersubsidi Sesuai dengan Permen ESDM No. 1 tahun 2013, di Lobby Kementerian ESDM Selasa, (22/1/2013) yang dimuat di situs resmi kementrian ESDM[2]. Pak menteri saja masih mengatakan “jika”, maka terlihat sekali Permen ini tertuang hanya dari satu sisi teoritis kebijakan hitung-hitungan untung rugi Negara saja. Belum tersentuh area koridor praktek dikehidupan masyarakat, sebagai end user BBM yang merasakan secara nyata dampak Permen ini.

Yang terjadi di masyarakat, “pengendalian” yang dimaksudkan terwujud pada pembatasan jumlah pemakaian BBM subsidi, pada dasarnya hal ini masih bisa diterima oleh masyarakat jika memang diterapkan secara bersih dan konsekuen dari pihak produsen BBM di Indonesia dalam hal ini PT. Pertamina. Perihal ketersediaan BBM yang cukup dan tidak mengalami keterlambatan penyaluran di setiap gerai SPBU nya menjadi faktor utama yang masih bisa menjadi pertolongan bagi masyarakat supaya tidak menjadi korban atas Permen ini.

Simak saja pengecualian yang tertuang di Pasal 6 poin 2 Permen ESDM No 1/2013 yang menuliskan “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Mobil Barang yang digunakan untuk
pengangkutan hasil kegiatan:
a. usaha perkebunan rakyat dengan skala usaha kurang dari 25 (dua puluh lima)hektar;
b. pertambangan rakyat dan komodita~ batuan; dan
c. hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat,”
dapat menggunakan Jenis BBM Tertentu berupa Minyak Solar (Gas Oil).[3]
Fakta yang terjadi di lapangan, justru mununjukkan kurang bekerjanya aturan main Permen ini dalam setiap poin nya, yang dirasakan masyarakat nyatanya adalah ketersediaan yang minim dan pembatasan sepihak untuk semua pengguna solar non subsidi.

Saya jadi menyeringai saat membaca isi Permen ESDM No 1/2013 ini,kemudian melihat yang realitas yang dirasakan masyarakat. Terlintas dibenak saya bahawa lagi dan lagi, peristiwa ini menambah daftar deretan panjang dampak dari sebuah tatanan ekonomi dan kebijakan suatu Negara yang sudah terlanjur terjerat dalam genggaman intervensi Bank Dunia (Wold Bank). Pastinya rakyat yang harus menanggung akibatnya, bagaimana tidak, sampai sekarang Indonesia masih dalam jeratan hutang WB, data tahun 2012 lalu saja masih menuliskan Indonesia berhutang senilai Rp 1.903 Triliun, nilai yang fantastis bukan?


Saya jadi teringat perkataan uni Dina Y Sulaeman (dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran)  yang ditulis dalam web beliau “Buat para pemuja WB, ketahuilah WB itu tak lebih dari renternir penghisap darah negara-negara Dunia Ketiga’ [4]. Ada salah satu poin yang sangat relevan dengan peristiwa kelangkaan dan pembatasan BBM ini, yakni kutipan dari Anggoro (2008), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut;
1.    Kerugian dalam bidang ekonomi
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
Yang Uni Dina tambahkan dalam artikel nya Peran Bank Dunia dalam Kemunduran Perekonomian Indonesia .[5]
Hayalan saya, seandainya saja Pertamina bisa menjadi satu satunya perusahaan anak negeri sebagai penghasil dan pengelola minyak bumi diseluruh alam pertiwi ini, mungkin kejadian-kejadian seperti ini tidak dialami masyarakat Indonesia. Namun nyatanya, sebagai Negara cengkraman WB, satu contohnya dengan keberadaan Exxon Mobile sebagai perusahaan asing yang  bermarkas di Texas, Amerika Serikat itu bisa dengan leluasa bereksplorasi ‘menjarah’ minyak bumi dinegeri ini.  Lihat saja area explorasi Exxon Mobile di pertiwi ini, dari ujung Aceh hingga Papua[6] keberadaan kegiatan explorasinya semakin menguat.
Lalu mana janji WB yang  tertuang dalam semboyannya working for a world free of  poverty”? sulit menemukannya di Indonesia ini, kalaupun ada tidak sebanding dengan berbagai tuntutannya terhadap pemerintah Indonesia yang berujung pada kesengsaraan dan kemiskinan rakyat semata. Maka kepada para pemimpin Negara ini, akankah masih mau menjadi “fans berat” WB atau berusaha melepaskan diri dari jeratannya dengan mengoptimalkan seluruh aspek potensi yang ada di pertiwi ini?.