Peraturan Menteri
(Permen) ESDM No 1/2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak
sebagai segelintir bukti cengraman intervensi Bank Dunia (World Bank) terhadap
kebijakan Pemerintah Indonesia


Beberapa
pekan terahir banyak daerah di tanah air
mengalami kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar non subsidi, berbagai
media electronik maupun cetak memuat berita mengenai perihal ini. Masyarakat
disulitkan dengan sulitnya nya membeli solar, di SPBU sering sekali terjadi
kekosongan solar yang mengakibatkan antrian panjang kendaraan menunggu solar
tersedia. Saat sudah tiba di SPBU pun masyarakat yang sudah berlama-lama
mengantri harus dehadapkan pada pembatasan pembelian solar tersebut. Contohnya
di sejumlah SPBU area Jogja-Jateng kendaraan jenis truck 125PS dengan kapasitas
tanki bahan bakar rata-rata 75 liter, hanya diperbolehkan membeli Rp 100.000,-
atau setara dengan 22,22 liter saja. Ironi melihat nasib rakyat ini, yang masih
saja selalu harus dihadapkan dengan berbagai dampak kebijakan pemerintah yang
belum efektif ditengah melimpahnya sumber alam di negeri ini.
Apa
yang sebenarnya melatarbelakangi peristiwa yang sedang terjadi ini? Secara
faktual hal ini dikarenakan oleh dikeluarkanya Peraturan Menteri (Permen) ESDM
No 1/2013 tentang pengendalian penggunaan bahan bakar minyak [1].Bila
kita telaah dengan lebih komrehensif, dari nama Permen nya saja sudah memiliki
makna ambigu yang terletak pada kata “pengendalian”, menurut paham saya, tujuan
pemerintah pada makna konteksnya tentu saja sebuah kebijakan yang “benar”,
mengingat sudah adanya kesepakatan antara DPR RI dan Pemerintah tahun 2013
tentang nilai subsidi BBM sebesar 46 juta KL sehingga kementrian ESDM pun
dirasakan perlu mengeluarkan Permen ini supaya tidak melampaui kuota subsidi
yang telah disepakati tersebut.
“Jika program ini 100% berhasil akan
menghemat sekitar 1,3 juta Kl,” ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral, Susilo Siswo Utomo, dalam acara Sosialisasi Pengendalian BBM
Bersubsidi Sesuai dengan Permen ESDM No. 1 tahun 2013, di Lobby Kementerian
ESDM Selasa, (22/1/2013) yang dimuat di situs resmi
kementrian ESDM[2]. Pak menteri saja masih mengatakan
“jika”, maka terlihat sekali Permen ini tertuang hanya dari satu sisi teoritis
kebijakan hitung-hitungan untung rugi Negara saja. Belum tersentuh area koridor
praktek dikehidupan masyarakat, sebagai end
user BBM yang merasakan secara nyata dampak Permen ini.
Yang
terjadi di masyarakat, “pengendalian” yang dimaksudkan terwujud pada pembatasan
jumlah pemakaian BBM subsidi, pada dasarnya hal ini masih bisa diterima oleh
masyarakat jika memang diterapkan secara bersih dan konsekuen dari pihak
produsen BBM di Indonesia dalam hal ini PT. Pertamina. Perihal ketersediaan BBM
yang cukup dan tidak mengalami keterlambatan penyaluran di setiap gerai SPBU
nya menjadi faktor utama yang masih bisa menjadi pertolongan bagi masyarakat
supaya tidak menjadi korban atas Permen ini.
Simak
saja pengecualian yang tertuang di Pasal 6 poin 2 Permen ESDM No 1/2013 yang
menuliskan “(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Mobil Barang yang digunakan untuk
pengangkutan hasil kegiatan:
a. usaha perkebunan rakyat dengan skala usaha kurang
dari 25 (dua puluh lima )hektar;
b. pertambangan rakyat dan komodita~ batuan; dan
c. hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat,”
dapat menggunakan Jenis BBM Tertentu berupa Minyak
Solar (Gas Oil).[3]
Fakta
yang terjadi di lapangan, justru mununjukkan kurang bekerjanya aturan main
Permen ini dalam setiap poin nya, yang dirasakan masyarakat nyatanya adalah
ketersediaan yang minim dan pembatasan sepihak untuk semua pengguna solar non
subsidi.
Saya jadi menyeringai saat membaca isi Permen ESDM No 1/2013 ini,kemudian
melihat yang realitas yang dirasakan masyarakat. Terlintas dibenak saya bahawa
lagi dan lagi, peristiwa ini menambah daftar deretan panjang dampak dari sebuah
tatanan ekonomi dan kebijakan suatu Negara yang sudah terlanjur terjerat dalam
genggaman intervensi Bank Dunia (Wold Bank). Pastinya rakyat yang harus
menanggung akibatnya, bagaimana tidak, sampai sekarang Indonesia masih dalam
jeratan hutang WB, data tahun 2012 lalu saja masih menuliskan Indonesia
berhutang senilai Rp 1.903 Triliun, nilai yang fantastis bukan?
Saya
jadi teringat perkataan uni Dina Y Sulaeman (dosen Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Padjadjaran) yang ditulis
dalam web beliau “Buat para pemuja WB, ketahuilah WB itu tak lebih dari renternir
penghisap darah negara-negara Dunia Ketiga’ [4]. Ada salah satu poin yang sangat relevan dengan
peristiwa kelangkaan dan pembatasan BBM ini, yakni kutipan dari Anggoro (2008), peneliti dari Institute of
Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena menerima
pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut;
1.
Kerugian dalam bidang ekonomi
-Bahkan, sebagian
hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan
perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang
minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan
di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex
dan Exxon.
Yang Uni
Dina tambahkan dalam artikel nya Peran
Bank Dunia dalam Kemunduran Perekonomian Indonesia .[5]
Hayalan saya, seandainya saja Pertamina bisa menjadi satu satunya
perusahaan anak negeri sebagai penghasil dan pengelola minyak bumi diseluruh
alam pertiwi ini, mungkin kejadian-kejadian seperti ini tidak dialami
masyarakat Indonesia .
Namun nyatanya, sebagai Negara cengkraman WB, satu contohnya dengan keberadaan
Exxon Mobile sebagai perusahaan asing yang
bermarkas di Texas, Amerika Serikat itu bisa dengan leluasa
bereksplorasi ‘menjarah’ minyak bumi dinegeri ini. Lihat saja area explorasi Exxon Mobile di pertiwi ini, dari ujung Aceh hingga Papua[6]
keberadaan kegiatan explorasinya semakin menguat.
Lalu mana janji WB yang tertuang dalam semboyannya “working
for a world free of poverty”? sulit menemukannya di Indonesia ini, kalaupun ada tidak sebanding
dengan berbagai tuntutannya terhadap pemerintah Indonesia yang berujung pada
kesengsaraan dan kemiskinan rakyat semata. Maka kepada para pemimpin Negara
ini, akankah masih mau menjadi “fans
berat” WB atau berusaha melepaskan diri dari jeratannya dengan
mengoptimalkan seluruh aspek potensi yang ada di pertiwi ini?.
No comments:
Post a Comment