Friday, April 12, 2013

"solar mendadak langka"


Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak sebagai segelintir bukti cengraman intervensi Bank Dunia (World Bank) terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia

Beberapa pekan terahir  banyak daerah di tanah air mengalami kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar non subsidi, berbagai media electronik maupun cetak memuat berita mengenai perihal ini. Masyarakat disulitkan dengan sulitnya nya membeli solar, di SPBU sering sekali terjadi kekosongan solar yang mengakibatkan antrian panjang kendaraan menunggu solar tersedia. Saat sudah tiba di SPBU pun masyarakat yang sudah berlama-lama mengantri harus dehadapkan pada pembatasan pembelian solar tersebut. Contohnya di sejumlah SPBU area Jogja-Jateng kendaraan jenis truck 125PS dengan kapasitas tanki bahan bakar rata-rata 75 liter, hanya diperbolehkan membeli Rp 100.000,- atau setara dengan 22,22 liter saja. Ironi melihat nasib rakyat ini, yang masih saja selalu harus dihadapkan dengan berbagai dampak kebijakan pemerintah yang belum efektif ditengah melimpahnya sumber alam di negeri ini.

Apa yang sebenarnya melatarbelakangi peristiwa yang sedang terjadi ini? Secara faktual hal ini dikarenakan oleh dikeluarkanya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2013 tentang pengendalian penggunaan bahan bakar minyak [1].Bila kita telaah dengan lebih komrehensif, dari nama Permen nya saja sudah memiliki makna ambigu yang terletak pada kata “pengendalian”, menurut paham saya, tujuan pemerintah pada makna konteksnya tentu saja sebuah kebijakan yang “benar”, mengingat sudah adanya kesepakatan antara DPR RI dan Pemerintah tahun 2013 tentang nilai subsidi BBM sebesar 46 juta KL sehingga kementrian ESDM pun dirasakan perlu mengeluarkan Permen ini supaya tidak melampaui kuota subsidi yang telah disepakati tersebut.

Jika program ini 100% berhasil akan menghemat sekitar 1,3 juta Kl,” ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Susilo Siswo Utomo, dalam acara Sosialisasi Pengendalian BBM Bersubsidi Sesuai dengan Permen ESDM No. 1 tahun 2013, di Lobby Kementerian ESDM Selasa, (22/1/2013) yang dimuat di situs resmi kementrian ESDM[2]. Pak menteri saja masih mengatakan “jika”, maka terlihat sekali Permen ini tertuang hanya dari satu sisi teoritis kebijakan hitung-hitungan untung rugi Negara saja. Belum tersentuh area koridor praktek dikehidupan masyarakat, sebagai end user BBM yang merasakan secara nyata dampak Permen ini.

Yang terjadi di masyarakat, “pengendalian” yang dimaksudkan terwujud pada pembatasan jumlah pemakaian BBM subsidi, pada dasarnya hal ini masih bisa diterima oleh masyarakat jika memang diterapkan secara bersih dan konsekuen dari pihak produsen BBM di Indonesia dalam hal ini PT. Pertamina. Perihal ketersediaan BBM yang cukup dan tidak mengalami keterlambatan penyaluran di setiap gerai SPBU nya menjadi faktor utama yang masih bisa menjadi pertolongan bagi masyarakat supaya tidak menjadi korban atas Permen ini.

Simak saja pengecualian yang tertuang di Pasal 6 poin 2 Permen ESDM No 1/2013 yang menuliskan “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Mobil Barang yang digunakan untuk
pengangkutan hasil kegiatan:
a. usaha perkebunan rakyat dengan skala usaha kurang dari 25 (dua puluh lima)hektar;
b. pertambangan rakyat dan komodita~ batuan; dan
c. hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat,”
dapat menggunakan Jenis BBM Tertentu berupa Minyak Solar (Gas Oil).[3]
Fakta yang terjadi di lapangan, justru mununjukkan kurang bekerjanya aturan main Permen ini dalam setiap poin nya, yang dirasakan masyarakat nyatanya adalah ketersediaan yang minim dan pembatasan sepihak untuk semua pengguna solar non subsidi.

Saya jadi menyeringai saat membaca isi Permen ESDM No 1/2013 ini,kemudian melihat yang realitas yang dirasakan masyarakat. Terlintas dibenak saya bahawa lagi dan lagi, peristiwa ini menambah daftar deretan panjang dampak dari sebuah tatanan ekonomi dan kebijakan suatu Negara yang sudah terlanjur terjerat dalam genggaman intervensi Bank Dunia (Wold Bank). Pastinya rakyat yang harus menanggung akibatnya, bagaimana tidak, sampai sekarang Indonesia masih dalam jeratan hutang WB, data tahun 2012 lalu saja masih menuliskan Indonesia berhutang senilai Rp 1.903 Triliun, nilai yang fantastis bukan?


Saya jadi teringat perkataan uni Dina Y Sulaeman (dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran)  yang ditulis dalam web beliau “Buat para pemuja WB, ketahuilah WB itu tak lebih dari renternir penghisap darah negara-negara Dunia Ketiga’ [4]. Ada salah satu poin yang sangat relevan dengan peristiwa kelangkaan dan pembatasan BBM ini, yakni kutipan dari Anggoro (2008), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut;
1.    Kerugian dalam bidang ekonomi
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
Yang Uni Dina tambahkan dalam artikel nya Peran Bank Dunia dalam Kemunduran Perekonomian Indonesia .[5]
Hayalan saya, seandainya saja Pertamina bisa menjadi satu satunya perusahaan anak negeri sebagai penghasil dan pengelola minyak bumi diseluruh alam pertiwi ini, mungkin kejadian-kejadian seperti ini tidak dialami masyarakat Indonesia. Namun nyatanya, sebagai Negara cengkraman WB, satu contohnya dengan keberadaan Exxon Mobile sebagai perusahaan asing yang  bermarkas di Texas, Amerika Serikat itu bisa dengan leluasa bereksplorasi ‘menjarah’ minyak bumi dinegeri ini.  Lihat saja area explorasi Exxon Mobile di pertiwi ini, dari ujung Aceh hingga Papua[6] keberadaan kegiatan explorasinya semakin menguat.
Lalu mana janji WB yang  tertuang dalam semboyannya working for a world free of  poverty”? sulit menemukannya di Indonesia ini, kalaupun ada tidak sebanding dengan berbagai tuntutannya terhadap pemerintah Indonesia yang berujung pada kesengsaraan dan kemiskinan rakyat semata. Maka kepada para pemimpin Negara ini, akankah masih mau menjadi “fans berat” WB atau berusaha melepaskan diri dari jeratannya dengan mengoptimalkan seluruh aspek potensi yang ada di pertiwi ini?.

No comments:

Post a Comment