Dalam Nestapa si
Cumlaude Melarat
By:
Anna Christi Suwardi
Lalim! Zolim! dan hina!, mungkin begitulah ungkapan-ungkapan kemarahan,
kekecewaan para intelektual yang berhati murni di sebuah kabupaten dipelosok
Jambi. Di Merangin tepatnya, dari daerah ini setiap tahunnya berduyun-duyun siswa
yang merantau ketanah Jawa, menimba ilmu di berbagai universitas kenamaan di pulau
termodern republik ini. Mereka bertekad memperkaya ilmu dan pengetahuannya guna
meningkatkan kualitas pendidikannya dalam khasanah yang tulus.
Mahasiswa Merangin tidak sedikit jumlahnya, mereka datang dari dusun-dusun,
yang terbiasa hidup dengan keterbatasan infrastruktur. Sering kali mereka
berangkat dengan baju bersih dan rapi, namun seolah seperti orang habis bermandi
lumpur setibanya di tempat tujuan. Ya, jarak tempuh yang jauh dengan jalanan
minim aspal yang kebanyakan bertanah liat. Licin sudah barang tentu selalu dinikmati
saat musim penghujan, dan taburan debu tebal selalu saja bak sauna disaat musim
kemarau menghampiri.
Di tengah berbagai latar belakang keterbatasan itu, maka setibanya mahasiswa
perantauan di tanah Jawa, mereka terbelah menjadi dua kutub. Tanah Jawa yang si
empunya ibu kota Indonesia, dan bertahtanya kota-kota besar dengan segala kenyamanannya,
kemudahan segala akses, ketersediaan segala fasilitas publik, dan buaian kenikmatan
sosial terdisplai luas, termasuk di Perguruan Tinggi dimana anak-anak dusun Merangin
itu berkuliah.
Di satu kutub, bagi para anak dusun yang orangtuanya adalah toke-toke
karet, tengkulak-tengkulah sawit, bos-bos transportasi, dan petinggi-petinggi
di Merangin, sudah barang tentu mensuplai anak-anak mereka dengan uang bulanan
yang berlebih. Tansferan kerekening mereka sudah diluar ongkos kuliah, begitu gemuk
dompet-dompet mereka untuk hanya sekedar hang-out di café-café mahal, shoping
fashion model ter-update di mall-mall kenamaan dan sebagainya.
Begitulah anak-anak dusun yang terserang culture shock
di kota-kota besar. Mereka mayoritas mengalami pergeseran tujuan utama pengembanan
tugasnya dalam menimba ilmu. Mereka lupa, lalai, bahkan terkesan “gumun” dan terpesona
kemolekkan keramain kota.
Pada saat jadwal perkuliahan seringkali nama-nama mereka berubah jadi hantu,
parafnya ada didalam daftar absensi kedatangan namun bangkunya kosong tak bertuan.
Tugas-tugas perkuliahan mereka sepelekan dengan membeli paper instant di
loakan, ujian semester mereka jadikan wahana berselancar dengan karya contekannya.
Sehingga calo-calo skripsi abal-abal yang menjadi teman setia mereka,
dipenghujung masa studinya. Gila bukan!
Namun di kutub lain, bagi para anak-anak dusun yang berbekalkan wejangan-wejangan
mendalam dengan ketegasan dari para orang tuanya. Mereka, yang berangkat ke Jawa
dengan modal raport prestasi, lengkap dengan surat keterangan miskin dari kepala desa.
Adapula yang telah menyiapkan surat
keterangan anak guru dari dinas pendidikan setempat yang kelak akan mereka sodorkan
untuk memenuhi persyaratan beasiswa prestasi. Lumayan lah, bisa mereka gunakan
untuk meringankan orangtua atas
tanggungan biaya kuliah dan sedikit menjadi penolong isi kantong mereka.
Ya, merekalah! Para anak dusun yang giat, yang orang tuanya buruh dodos,
penyadap getah karet upahan, pedagang sayur di pasar Bangko, dan ada pula yang
orangtuanya kuli tinta di sekolah-sekolah impress. Pas-pasan, bahkan sering kali
kurang, begitulah nestapa anak-anak dusun yang minim kiriman biaya hidupnya. Itupun
mereka lebih utamakan untuk jaga-jaga biaya foto kopi materi perkuliahan,
ketimbang harus mereka bayarkan untuk nongkrong di kantin dengan menu makanan lengkap.
Cukuplah nasi tim yang mereka masak di kos-kosannya, sebagai bekal tenaga meniti
tugas mulianya di tanah rantau.
Mereka tekun, teguh pendirian, bahkan mereka seolah alergi dengan kemegahan
dan riuh ramai kota.
Fokus mereka hanya satu, perkuliahannya! Menapaki setiap lorong kecil disela kos-kosan
mewah yang hanya mampu mereka impikan saja untuk singgah di dalamnya, mereka berjalan
menuju kampusnya dengan semangat. Terik matahari dan derasnya hujan tak pernah mereka
jadikan penghalang. Say no to “C”
mayoritas menjadi jargon mereka dalam mendapatkan nilai ahir perkuliahan.
Kemurnian tugas-tugas mereka jaga, ketajaman dan kemurnian gagasan dalam skripsinya
mereka utamakan. Sehingga CUMLAUDE adalah harga mati buat kelulusan mereka!
Yang mereka persembahkan sebagai hadiah indah untuk kemuliaan hati dan jerih
payah orangtuanya.
Lalu tahukah anda, siapa yang akan menjadi
“orang” yang diperhitungkan namanya saat dua kutub anak dusun itu telah kembali
mudik ketanah Merangin? Jangan optimis dulu, jangan kira sarjana-sarjana muda penuh
talenta, dengan kegemilangan prestasi akademik dan kemurnian karya ilmiahnya adalah
bibit-bibit unggul yang akan dipandang di tanah kelahirannya itu. Tidak! Bukan!
Bukan mereka.
Mereka pulang dengan sertifikat cumlaude-nya,
yang sekarang hanya menjadi hiasan di dinding rumah sederhanya, bukan tawaran posisi
empuk dikalangan pemerintahan daerah Merangin yang ia dengar. Tapi apa? Justru
nominal gundukan uang yang harus mereka siapkan jika mereka hendak masuk kedalam
jajaran istana Pegawai Negeri Sipil di tanah kelahirannya. Biadab! Hal ini dilakukan
para calo-calo serigala Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gila uang itu.
Uang! ya,
alat tukar yang diciptakan sendiri oleh manusia itu kini benar-benar telah naik
derajat menjadi "dewa" bagi penciptanya sendiri. Semakin bertambah
duyunan manusia yang memuja uang. sehingga norma-norma, kearifan, budi pekerti,
hati nurani, dan kejujuran terlibas habis oleh rasa serakah, lalim, tamak, abisius
matrealistis, dan iri dengki. Ya! dengan uang manusia berkekuatan, bukan hanya
dalam kelas sosial yang tinggi ala kalangan birokrat
saja yang saling berebut uang! bahkan hingga kelas tersempit dalam trah
keluarga sekalipun. Uang yang menentukan kekuatan! Maka wajar
jika karena uang, manusia syukur semakin punah, dan manusia kufur semakin
menjamur. Begitulah kebanyakan orientasi para calo-calo itu.
Mereka mayoritas adalah oknum-oknum
hianat yang berasal dari dalam instansi-instansi pemerintahan, syaraf malu
mereka sudah putus barangkali. Para calo itu
umumnya adalah antek-antek yang pro dengan kepala daerah yang sedang menjabat. Sebuah
pengakuan dari seorang sarjana hebat yang teguh pendirian saat ia dihampiri
tawaran busuk itu menuturkan, angka yang dibandrol untuk bisa di-bookingkan dalam satu kursi calon PNS
berkisar Rp 100 – Rp 160 juta-an, fantastis bukan? Bahkan konyolnya, para
sengkuni tak takut neraka itu beroperasi bak jualan elektronik bergaransi, jika
Surat Keputusan (SK) pengangkatan PNS gagal turun, maka uang akan kembali 80%.
Puluhan juta dapat mereka lahab dengan rakusnya atas potongan biaya itu, dan
akan lebih menggunung lagi Rupiah mereka, ketika calon yang mereka bookingkan bisa lolos menduduki kursi
PNS.
Sudah barang tentu para sarjana hebat
yang tak ber-uang itu terpental jauh tak berdaya, mana punya orang tua mereka uang
bejibun ratusan juta jumlahnya. Lalu, nasib mereka kini terdampar di
rumah-rumah pendidikan dan beberapa kantor kecil sebagai honorer rendahan. Menurut
pengakuan mereka, misalnya ketika mereka honorer di Sekolah Dasar, kisaran
honorariumnya hanya dibawah Rp 500.000 saja, dan berkisaran Rp 700.000 ketika
mereka honorer disuatu dinas pemerintahan. Nominal sekian itu hanya habis untuk
mengisi bahan bakar kendaraannya saja, karena biasanya jarak antara kantor dan
tempat tinggal mereka lebih dari 20km. Gila Bukan!
Nepotisme juga begitu kental masih
marak di Merangin, siapa saja yang dekat atau sebagai kerabat pemimpin Merangin
yang sedang menjabat sangat berperan dalam memuluskan jalan menuju kursi PNS.
Pastilah mereka diutamakan dibandingkan para pelamar lain yang tak berlatar
belakang punya kedekatan dengan petinggi. Seleksi administrativ yang mampu
melihat kualitas akademis seseorang secara berimbang sering kali dijadikan
formalitas belaka. Ya, begitulah regulasi yang masih berjalan di Merangin.
Memalukan!
Seorang rekan seperjuangan
mengisahkan, dia merupakan Sarjana Hukum dengan predikat cumlaude yang hingga
kini masih harus menerima kekalahan atas kezoliman sarjana-sarjana abal-abal
itu, hanya karena dia melarat! Setiap dibuka penerimaan calon pegawai negeri
sipil, barangkali dia termasuk dalam urutan awal sebagai pendaftarnya. Namun
tetap saja, karena tak punya koneksi dengan orang-orang didalam istana
dinas-dinas itu dan kempesnya isi kantongnya, tak kunjung ia dapatkan pekerjaan
itu hingga kini. Sekarang hanya semangat juang yang masih selalu ia pelihara
agar tetap melekat dalam dirinya, yang membuatnya teguh pendirian, tak goyah
menjadi intelektual yang hianat. Menjadi honorer dengan bayaran ala kadranya dibeberapa
kantor advokasi dan memberikan privat-privat rumahan dengan honor seihlasnya,
tekun ia lakukan untuk bertahan hidup. Namun ia tetap bangga, setidaknya ia
tetap bisa mengamalkan ilmunya, dengan bingkai sertifikat cumlaude yang setia menghiasi
dinding rumahnya.
Kondisi yang bertolak belakang
terjadi dilain tempat, sorak sorai terdengar disana diperuntukkan sebagai
sambutan bagi para anak-anak dusun yang tikus-tikus kampus tadi! Mereka pulang ke
Merangin dengan sambutan bangga palsu dari keluarganya, keluarga para
konglomerat tak berhati nurani. Para pemalas
itu melangkah ringan, bak setengah terbang kea wan. Karena semerta-merta pintu kantor
dinas-dinas di kabupaten Merangin seolah melambai-lambai mengayunkan tangan ajakannya
untuk masuk ke dalam istana PNS di jajarannya. Dengan apa? Dengan telah terisinya
kursi-kursi empuk PNS itu oleh bongkahan-bongkahan emas, dan lembaran-lembaran uang
sogokan yang menjijikan melalui para sengkuni dan calo PNS itu!
Sebut saja si Fulan (bukan nama
sebenarnya), Fulan merupakan mahasiswa Tehnik Mesin di sebuah Universitas
swasta di Jogja terdaftar sejak angkatan 2001. Memang, dia anak manja yang selalu
mendapatkan transferan tebal dari orangtuanya di Merangin. Namun hebatnya, dia
bisa saja tetap selalu bersandiwara terhadap orangtuanya, seolah dia nelangsa
hidup di Jogja, sehingga belas kasih dari orangtuanya dan nama baiknya tetap
terus terjaga baik. Namun tragisnya, perkuliahannya tak pernah ia jadikan hal
serius untuk selalu dikerjakan, dia hanya sibuk dengan gadget-gadget nya dan
wara-wiri antar jemput dan mengurusi kekasih barunya.
Begitulah keseharian si Fulan,
hingga waktu terus dan terus berlalu, skripsinya tak kunjung selesai. Bagaimana
mau bisa selesai, saat sedikit kesulitan menemui dosen pembimbing saja dia
sudah langsung menyerah dan membiarkan dirinya semakin terjangkit rasa malas.
Tapi dasar Fulan si pembual, tetap saja orangtuanya di kampung bisa dia
kelabui, susahnya dosen pembimbing dia jadikan alibi untuk tetap membuatnya
baik dimata orantuanya. Justru pada tahun ke-tujuh dia minta dinikahkan dengan
kekasihnya. Dengan statusnya yang masih mahasiswa pengangguran tanpa karir sama
sekali. Kisah studi Fulan berujung pada tahun ke-sembilan studinya di
Universitas itu, bisa ditebaklah bagimana jalannya? Karena malu orangtuanya
saking lama anak bujangnya kuliah tak kunjung wisuda, maka makelar skripsi
gadungan jadi penolongnya. Bisa memang dia wisuda, namun dengan karya palsu dan
nilai IPK ala kadarnya. Keterlaluan!
Nasib Fulan bisa tetap hidup enak, dengan
istri cantik dipelukannya, dia pulang ke Merangin. Di tanah kelahiranya itu,
orangtuanya sudah menyiapkan ratusan juta untuk dibayarkan kepada calo-calo
PNS. Maklumlah, orangtuanya paham betul, kemampuan anak bujangnya ini
sebenarnya tak istimewa, pesimis mereka jika anaknya bisa berjuang mandiri
meraih kesuksesan karis dan kemapanan hidup. Mulus saja jalan Fulan, kini dia
duduk manis dikursi suatu instansi pemerintahan dengan gaji jutaan rupiah.
Tapilah pasti sudah dapat ditebak bagaimana sumbang sih si Fulan dalam
profesionalitas kerjanya, rasanya nol besar itu jawabannya.
Begitulah sepenggal cerita bagi mereka
sarjana abal-abal tapi kaya. Dengan santai tanpa rintangan, memasuki setiap kantor-kantor
itu dan meraup kemudahan disepanjang hidupnya. Tapi sudah barang tentu, didalam
kantor-kantor mewah itu, hanya hura-hura tak berarti pula-lah yang bisa
sarjana-sarjana dusun zolim itu lakukan! Sarjana-sarjana abal-abal ini digaji
sesuai standar gaji PNS dari pemerintah, untuk lulusan Strata 1 (S1) langsung
melesat digolongan III. Mengacu pada Peraturan pemerintah
Nomor 8 Tahun 2009 dengan Perubahan Kesebelas atas PP Nomor 7 tahun 1977
Tentang Peraturan Gaji PNS yang diterbitkan awal Januari 2009, PNS Golongan IIIa dengan masa kerja 0 tahun, gaji pokoknya
mencapai Rp 2.046.100. Bandingkan dengan para
sarjana miskin honorer tadi, ironis sekali!
Kezoliman terhadap sarjana miskin
masih saja terjadi, bahkan baru-baru ini dengan cara yang lebih mutahir dan tak
kalah gila-nya dari sekedar uang sogokkan. Pada saat seleksi tes tertulis, ada
yang menggunakan jasa cukong pengganti. Cukong pengganti ini beroperasi dengan
cara dirinya mewakili orang yang membayarnya untuk melaksanakan tes tertulis.
Semua kartu tanda pengenal dibekalkan kepadanya, tanda tangan pun dengan
mudahnya dipalsukan. Cukong-cukong ini adalah orang yang biasanya juga sebagai
panitia tes, atau paling tidak tim yang terlibat, sehingga sudah mahir dan
faham seluk beluk soal tes yang diujikan. Yang ini memang tarifnya lebih
miring, berkisar sepuluh jutaan. Karena cukong ini tidak memiliki jaminan
sampai diterima sebagai PNS. Walaupun demikian, toh tetap saja banyak sarjana
abal-abal yang malas itu setia menggunakan jasa cukong-cukong itu.
Profesionalisme bidang pekerjaan
ahirnya menjadi satu hal yang pertama kali ternodai dalam kinerja para PNS
abal-abal itu. Dalam dunia pendidikan misalnya, seorang sarjana jurusan kimia,
karena asal bisa masuk jadi PNS, dia mengisi kursi mengajar bidang studi sejarah.
Aneh bukan?! Alih-alih dapat mengajarkan materi dengan baik, transfer ilmu
tercapai kepada para muridnya, dia sendiri sekalipun mungkin tak mampu
mengerjakan soal dalam buku pelajarnnya. Pastilah hal itu terjadi, karena
memang bukan pada bidangnya. Sehingga tumbalnya pastilah kualitas ilmu para
anak didiknya. Generasi penerus bangsa ini!
Lalu dari manakah kepemimpinan daerah
Merangin dapat berjaya? Jika para pekerja sipilnya adalah birokrat-birokrat picik
yang sarat korup. Pengembanan tugas Negara hanya dijadikan simbiosis cari untung
dan pengembalian modal sogokan mereka saja. Kepentingan rakyat kecil pastilah
tak pernah tersentuh dijadikan prioritas program kerja, barangkali hanya
terkumandang saat musim kampanye pencalonan pemimpin saja kepentingan rakyat
disuarakan. Faktanya, semua tinggal janji-jani palsu saja, tak ada perbaikan
signifikan terhadap kesejahteraan hidup rakyat kecil. Apalagi mereka yang
tinggal di pelosok-pelosok dusun, jalanan licin dan taburan debu selalu bergantian
datang menjadi teman setia kehidupan mereka.
Jadi, begitulah di Merangin, Sarjana
cumlaude yang melarat tak laku jadi PNS. Regulasi kotor terus tumbuh subur
dalam proses recruitment pegawai
negeri sipil disana. Kolusi dan nepotisme menjadi duo mujarap sebagai amunisi
agar bisa lolos menjadi PNS. Cara-cara lain-pun di-create seolah ala lomba kreatifitas karya cipta saja. Jurang-jurang
perbedaan dan ketimpangan semakin curam. Sehingga kegilaan manusia akan uang,
menjadikan uang sebagai media sekaligus orientasi tujuan dalam kancah regulasi birokrasi
di daerah itu.
Maka, relakah jika para tikus-tikus
kampus itu, sarjana abal-abal itu, dan para antek-antek birokrat berleha-leha
menikmati hasil kezolimannya?! Coba lihatlah, jerih payah dan peluh semangat
anak dusun melarat itu, mereka hidup dalam keterbatasan dengan berbalut
kemuliaan atas kemurnian intelektualnya. Mereka tetap menjadi pelayan setia
atas nestapa kemelaratannya. Syaraf-syaraf pemikiran progresifnya tetap menyala
seiring dengan terpaan-terpaan kenistaan para konglomerat yang diskriminatif
yang justru membuatnya semakin tegar.
Sudah pasti, kondisi sebobrok ini
tidak akan bisa membaik, berputar seratus delapan puluh derajat menjadi sehat
jika hanya dengan berdiam dan berharap semata! Dibutuhkan sebuah pembangunan kesadaran
dan kesepemahaman pola fikir secara kolektif sehingga perang terhadap aksi
sogok, kolusi, dan nepotisme bisa digerakkan. Perlunya menciptakan pemimpin
yang bersih, dengan pondasi ke-Tuhanan yang kokoh serta bernilai kearifan harus
dijadikan agenda mendesak di Merangin. Sehingga akan terlahir regulasi yang
transparan, adil, dan berbobot terutama dalam hal recruitment professional-profesional yang akan mengemban tugas
Negara dalam membangun Merangin.
Sepertinya harapan itu terlihat
memiliki tingkat mustahil yang tinggi, namun jika jerih payah dan pengorbanan
terhadap perlawanan demi perubahan ini digencarkan dengan serentak, maka akan menjadi
sangat mungkin bisa mencapai titik keberhasilannya. Sehingga pentingnya
persatuan intelektual sejati yang terbina dengan kokoh dan pergerakan
menyerukan perlawanan demi pembenaran dicanangkan secara massa dan progresif. Pendidikan sebagai dasar
pondasi tertanamnya ilmu dan kaidah-kaidah kebenaran selayaknya harus diperkuat
tanpa tebang pilih terhadap perbedaan latar belakang. So, education is for all!